Kasus pelecehan seksual di kendaraan umum bukan
merupakan hal baru. Sudah lusinan pencabulan yang menimpa penumpang
kendaraan umum, terutama perempuan di kereta atau bus. Beberapa korban
mendapatkan sentuhan kurang ajar, lainnya terpaksa melihat alat vital
yang sengaja dipamerkan pelaku.
Pelecehan seksual
Menurut psikolog Fredrick Purba, orang yang melakukan pencabulan di ruang publik teridentifikasi mengalami gangguan psikologis. Dan masalah kejiwaan itu terbagi dua jenis: frotteurism serta exhibitionism.
“Frotteurism adalah perilaku seksual menyimpang untuk mencapai kepuasan seksual,” kata Bang Jeki, sapaan akrab Frederick, ke Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Senin, 29 September 2014.
Pelaku akan mencapai kepuasan setelah menggesekkan atau menempelkan alat kelamin ke tubuh orang lain, tanpa izin. Dan biasanya, aktivitas ini terjadi ketika korban sulit untuk memberi respon cepat, semisal di kendaraan umum atau tempat keramaian lain.
“Jika bertemu orang seperti ini, Anda harus menunjukkan kuasa,” kata Bang Jeki. “Seperti berbalik badan lalu bentak si pelaku, memukul badan atau alat kelamin, dan berteriak melaporkan pada orang lain.”
Sedangkan exhibitionism adalah perilaku untuk mencapai kepuasan seksual dengan menunjukkan alat kelamin, seperti payudara, vagina, penis, dan bokong ke orang lain. Lagi-lagi terjadi di tempat umum dan tanpa seizin orang yang berhadapan dengannya.
Untuk kasus exhibitionism, Bang Jeki mengatakan, jarang terjadi di kendaraan umum. Pelaku cenderung melakukannya di taman atau jalan, tempat orang berlalu lalang. Bila menghadapi orang seperti ini, sebaiknya Anda lihai menguasai diri dan tidak memperlihatkan rasa kaget.
“Lempar si pelaku dengan barang atau batu. Tapi jangan lempar ponsel Anda ya, mahal beli barunya nanti!” kata dia seraya tertawa. “Melemparkan barang atau memukul akan menjadi hukuman bagi pelaku.”
Menurut Bang Jeki, ada banyak penyebab orang melakukan pelecehan seksual di tempat umum. Namun ia merangkumnya menjadi tiga pemicu:
1. Pengalaman traumatik seksual masa lalu.
Ini terjadi kala pelaku pernah menjadi korban perilaku seksual yang tak pantas. Sehingga sisi seksualitas pelaku tidak berkembang dengan normal dan mengekspresikannya secara tak wajar pula.
2. Mengalami atau melihat perilaku seksual yang menyimpang, secara berulang.
Untuk penyebab yang satu ini, pelaku akan cenderung meniru perilaku itu hingga mendapatkan kepuasan. Misalnya seorang anak melihat anggota keluarga atau teman yang lebih tua menggesek-gesekkan maupun menunjukkan kelamin ke orang lain, lalu mendapatkan kepuasan atau pujian.
“Si anak akan terdorong melakukan hal yang sama untuk mendapatkan kepuasan atau pujian itu,” ujar Bang Jeki. “Saat ia secara berulang mendapatkannya, perilaku itu berubah menjadi kebiasaan.”
3. Konsep diri (self concept) dan harga diri (self esteem) rendah.
Biasanya ini terjadi kala pelaku menjalin relasi romantis atau hubungan seksual dengan lawan jenis. Ketidakmampuan menjalin hubungan intim untuk mendapatkan pemuasan kebutuhan seksual menyebabkan ia memilih cara lain. Seperti menggesekkan atau memamerkan alat kelamin ke orang lain.
Agar pelaku sembuh dari gangguan seksual, ada beberapa bentuk penanganannya. Misalnya dengan terapi perilaku, khususnya cognitive-behaviour therapy (CBT). Penyembuhan ini dapat dilakukan oleh psikolog atau psikiater yang menguasai keterampilan CBT. Ada pula terapi kelompok, khususnya family therapy. “Di sini, bukan hanya pelaku yang mendapatkan intervensi, juga guna memberikan bantuan dan dukungan psikologis,” kata Bang Jeki.
Pelaku bisa pula mengikuti pelatihan peningkatan keterampilan sosial dan berelasi intim. Cara ini pun harus dilakukan dengan bimbingan psikolog atau terapis perilaku. Sementara pengobatan medis dengan obat penurun testoteron mampu mengurangi dorongan seks.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA