Ilustrasi |
Tak hanya marak, pemberitaan soal survei politik ini kerap membuat kita mengernyitkan dahi karena seorang politisi yang namanya mangkrak di level tengah elektabilitas menjelang Pemilu 2014, tiba-tiba saja
melejit dan memimpin elektabilitas pemilu dengan suara yang jauh di atas kandidat lain. Itu hasil survei menurut versi lembaga tersebut.
Kali lain lembaga berbeda mengumumkan hasil temuan lain ke media massa dan menampilkan sosok yang sama sekali berbeda yang memimpin elektabilitas menjelang pemilu tahun depan. Luar biasa, ada sejumlah lembaga survei dan tiba-tiba saja sejumlah politisi penting memimpin hasil survei, padahal hasil survei lembaga lain (lagi) menunjukkan kondisi yang berbeda. Lalu masyarakat mau percaya pada hasil survei yang mana? Bagaimana mau memahami fenomena yang berkembang saat ini?
Memanipulasi media
Dengan membolak-balik buku Ryan Holiday di atas kita akan menemukan pengakuan yang sangat dahsyat dari seorang yang memang sehari-hari ”bertugas untuk memanipulasi media”. Buku ini jangan dilihat secara ilmiah, tapi buku ini sungguh praktis dan membongkar cara- cara untuk melakukan manipulasi terhadap media di Amerika. Holiday mengaku ia memiliki puluhan akun e-mail palsu atau anonim, lalu ia mengelola sejumlah blog yang akan menyetor posting yang nantinya akan diikuti oleh pemberitaan di media massa lokal dulu, kemudian diikuti media massa nasional dan item berita yang hendak dipromosikan Holiday akhirnya menjadi bahan pembicaraan teratas pada waktu-waktu tertentu.
Manipulasi terhadap media, menurut pengakuan Holiday, tak semata-mata untuk mendongkrak berita jelek ataupun mempromosikan orang ataupun barang yang ia tangani. Terkadang ia pun melakukan manipulasi untuk suatu hal yang positif. Misalnya ia mengaku bahwa ia melakukan teknik yang sama untuk mendukung pengumpulan dana untuk kegiatan sosial, tetapi inti hal yang ia lakukan sama: ia menciptakan peristiwa yang kemudian diliput oleh media, menghasilkan banyak perhatian orang lain, dan orang kemudian berbuat sesuatu karenanya.
Holiday kemudian juga mengutip pernyataan dari Kurt Bardella, mantan sekretaris pers untuk anggota kongres kubu Republik, Darrell Issa: ”Banyak orang pers itu malas, semalas-malasnya. Ada masa di mana ketika saya memberikan masukan untuk laporan mereka, dan mereka menuliskannya dengan kata-kata yang persis sama saya buat. Hal ini sangat memalukan. Para wartawan ini hanya mencoba menyesuaikan kondisi di mana pers sekarang lebih membutuhkan jumlah (kuantitas) berita daripada mutu (kualitas) berita....”
Lebih lanjut Issa mengatakan: ”Kondisi ini menguntungkan saya karena mereka, para reporter, senang jika saya telah meramukan isi berita untuk mereka. Para reporter senang karena dengan demikian mereka mendapatkan berita dengan mudah dan bisa mencari berita lainnya. Para reporter ini dinilai dari berapa jumlah berita yang mereka setorkan per hari. Memang ini kondisi yang tak bagus, tetapi itulah kenyataannya.”
Membaca kutipan Issa di atas sangat menohok karena persis itulah kondisi yang juga terjadi di Indonesia. Berita-berita mudah diproduksi dan cepat didistribusikan, sensasi demi sensasi dihasilkan, tanpa suatu verifikasi lebih detail, tanpa pemeriksaan lebih teliti sebelum disiarkan. Justru karena para wartawan zaman sekarang dikejar untuk menghasilkan berita sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, tak banyak dari berita itu sungguh sudah layak lolos ketika disiarkan.
Kepentingan pencitraan
Mereka yang didera pacuan menghasilkan berita banyak dan cepat kerap mudah dikendalikan oleh mereka yang memang punya kepentingan menghasilkan citra-citra tertentu dari pemberitaan yang ada. Kontroversi hasil survei begini, misalnya, bisa tampil karena wartawan tidak kritis pada sumber, tak mau bertanya lebih dalam (dan juga mencoba memahami lebih dalam) hal yang terkait dengan metodologi survei yang dilakukan oleh setiap lembaga. Kita pun ingat beberapa kasus yang disebut sebagai ”berita setting-an” yang menimpa beberapa pesohor dunia hiburan belakangan ini.
Mungkin banyak wartawan ataupun media yang menyiarkan berpikir, biarlah hal tentang ”kebenaran” (seberapa ambigu pun konsep ini) diserahkan kepada pembaca untuk memilih mana yang ia mau percaya atau tidak. Menurut saya sendiri, hal itu sungguh tidak bertanggung jawab karena wartawanlah yang harusnya memeriksa lebih dulu kadar kebenaran suatu peristiwa ataupun rilis, sebelum akhirnya dilempar kepada publik. Fungsi verifikasi wartawan, sebagaimana dikatakan Kovach & Rosenstiel (2010), adalah fungsi yang paling penting di masa ”informasi datang sangat melimpah” ini.
Kalau wartawan jadi terlalu malas, maka ia mudah jadi sasaran para manipulator media, apakah itu dalam rupa lembaga survei, lembaga kehumasan, ataupun para profesional tukang pelintir informasi yang ada. Bagaimanapun juga politik di Indonesia adalah juga suatu industri tersendiri yang telah menghasilkan pembagian kerja secara khusus pula, dan untuk itu media massa adalah salah satu sasaran untuk informasi yang dipelintir bisa disiarkan kepada masyarakat.
Di Indonesia, butuh kecerdasan ekstra dari para wartawan, media yang menyiarkan, serta khalayak yang mengonsumsi informasi untuk selalu bertanya ada apa di balik berita yang ditampilkan kepada publik ini? Apa pesan sesungguhnya yang mau disampaikan lewat peristiwa lain tadi. Sungguh tak mudah, tapi menjelang Pemilu 2014, mau tak mau khalayak memang harus kian cerdas membaca pesan-pesan yang ada dalam media.
[source : kompas.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA