Ilustrasi |
“Taplak meja yang terlihat bersih di
akhir jamuan makan China menandakan tidak cukup hidangan untuk semua
tamu,” ujar Tjong Tjay atau Benny Oei, putra bungsu pengusaha gula Oei
Tiong Ham kepada wartawan-cum-penulis James Michener.
Tulisan Michener, “Chinese Success Story”, yang dimuat majalah Life,
31 Desember 1951, melukiskan kegembiraan Tjong Tjay mentraktir
teman-temannya bersantap di restoran Kam Leng di Glodok. Dia biasa
memesan tujuh hingga delapan menu umum dengan tambahan menu istimewa
seperti sup sirip hiu. “Tak ada yang lebih menyenangkan hati Tjong Tjay
selain melihat teman-temannya melahap dan menyendok sajian dengan
tumpahan di sana-sini,” tulis Michener.
Bagi komunitas China, hidangan sirip hiu
adalah wujud penghormatan tuan rumah kepada para tamu. Keberadaan sirip
hiu sebagai jamuan istimewa dipercaya telah berlangsung sejak masa
Dinasti Sung. Artikel “The History of Imperial Chinese Cuisines” dalam http://www.china.org.cn/english/imperial/25995.ht menyebutkan,
sirip hiu dan sarang burung walet tersaji dalam perjamuan mewah
kekaisaran setelah perjalanan besar armada Cheng Ho ke Asia Tenggara
pada masa Dinasti Ming. Ia terus menjadi menu kekaisaran hingga masa
Dinasti Qing.
Hubungan dagang dengan bangsa lain,
termasuk Eropa, memperkuat tradisi kuliner itu. Sirip hiu menjadi
komoditas yang mempererat relasi perdagangan dengan China. Kongsi Dagang
Belanda (VOC) mengirimnya dalam rangka perdagangan teh secara langsung
dengan China sejak abad ke-18. “Selain membayar dengan perak batangan,
pejabat VOC di Batavia mengirim benda-benda mahal yang memiliki pasaran
di China untuk kekaisaran seperti trepang, sirip hiu dari Hindia Timur,
debu mutiara dari Ceylon, dan tekstil celup dari India,” tulis Liu Yong
dalam The Dutch East Indie Company Tea Trade with China, 1757-1781.
Pemerintahan komunis pada pertengahan
1900-an, yang menganggap sirip hiu sebagai bagian gaya hidup mewah,
sempat menekan konsumsinya di China. Namun anggapan ini tak berlaku bagi
para imigran China di berbagai belahan dunia. Mereka membawa selera
“imperial” sirip hiu ke tanah baru. Kritikus makanan Amerika pada 1848,
Samuel Williams, seperti dikutip Soup Through the Ages karya Victoria R. Rumble, mencatat hiu dan pari dalam daftar bahan makanan komunitas imigran China di Amerika.
Gelombang kedatangan imigran China ke
Singapura, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, menjadikan koloni Inggris
tersebut sebagai pasar terbesar sirip hiu di Asia Tenggara awal
1900-an. Terbitan berkala Algemeen Landbouwweekblad van Nederlandsch-Indie
pada 1930 mencatat ekspedisi kapal uap penangkap hiu dengan sponsor
Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran, ke
Pulau Lingga, Riau. Ekspedisi ini bertujuan mengeksplorasi potensi
bisnis dan kualitas sirip, kulit, dan daging hiu di perairan Hindia
Belanda. “Kulit hiu akan dikirim ke Eropa, sementara daging (kering dan
asin) dan siripnya ke Singapura,” tulis Manon Osseweijer, “The Toothy
Tale”, dalam Peter Boomgaard, A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories.
Potensi bisnis hiu, lanjut Osseweijer,
membuat penasehat perikanan Belanda, Johan Poortman, menambahkan
penangkapan hiu dalam aspek pengamatan untuk pengembangan kerangka kerja
perikanan Hindia Belanda.
Singapura terus menjadi pasar utama
ekspor sirip hiu hingga kemunculan Hongkong di pertengahan 1980-an.
Dalam waktu singkat, Hongkong meroketkan volume ekspor dan harga sirip
hiu di banyak negara, termasuk Indonesia. Debra A. Rose dalam An Overview of World Trade in Sharks and Other Cartilaginous Fishes mencatat
lonjakan volume ekspor sirip hiu dari Indonesia ke berbagai negara,
termasuk Hongkong: dari 429 ton pada 1986 menjadi 547 ton pada 1987,
dengan total nilai dari sekitar 1 juta menjadi lebih dari 2.6 juta USD.
Lonjakan keuntungan bisnis sirip hiu juga mempengaruhi pola hidup nelayan. Menurut penelitian Natasha Stacey dalam Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone,
perpindahan nelayan Suku Bajo ke Pepela, Rote, antara 1989-1994,
terdorong oleh perkembangan bisnis sirip hiu. Kehadiran perwakilan
bisnis Hongkong dan Ujung Pandang di Pepela, yang bekerjasama dengan
pengusaha lokal untuk penyewaan dan kredit perahu serta modal
perlengkapan, memberi harapan perbaikan ekonomi sehingga sekelompok
nelayan Bajo memutuskan pindah tempat.
Eksploitasi penangkapan hiu terjadi hampir di seluruh perairan di dunia. Situs CNN.com edisi
1 Februari 2011 memperkirakan 73 juta hiu tewas diburu setiap tahunnya.
Artikel yang sama menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara
pengekspor hiu terbesar, bersama India, Spanyol, dan Taiwan.
Praktik “penyiripan” dalam penangkapan
hiu menyulut kemarahan internasional. Nelayan kerap memotong sirip hiu
dalam keadaan hidup lalu melempar tubuh sekaratnya ke laut. Target
memenuhi muatan kapal kerap mendorong nelayan melakukan metode
“penyiripan”.
Saat ini, jumlah spesies hiu dengan
status terancam punah dialami lebih dari 200 dari sekitar 350 spesies
yang terdata. Padahal, seperti pohon oak, gajah, dan manusia, hiu
memiliki fitur K-seleksi sejarah hidup (strategi reproduksi dan
kelangsungan hidup), dengan ciri antara lain: puncak
kematangan seksual yang lama, jumlah keturunan yang terbatas, dan usia
kehidupan yang panjang. Karenanya, regenerasi hiu memerlukan waktu.
Eksploitasi, penangkapan, dan konsumsi terus-menerus akan menutup
kesempatan hiu beregenerasi, lalu mengakhiri eksistensinya.
Kepunahan hiu, yang merupakan predator
teratas jaringan makanan, berdampak terhadap keberlangsungan hidup satwa
lainnya. Penelitian Stevens, J.D et.al. dalam “The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystems” yang dimuat di ICES Journal of Marine Science (2000) memprediksi beberapa skenario akibat kepunahan spesies hiu tertentu. Hilangnya spesies hiu macan (Galeocerdo cuvier)
dalam perairan karang terumbu di Hawaii, misalnya, diperkirakan membuat
populasi burung laut meningkat, yang kemudian menyebabkan populasi tuna
berkurang, dan akibatnya menambah populasi ikan-ikan kecil di dasar
laut.
Ironisnya, sirip hiu masih tersaji
sebagai menu istimewa hingga abad ke-21. Walaupun mitos seputar
kandungan gizi sirip hiu berkembang, kenaikan permintaan pasar lebih
disebabkan anggapan dan nilai budayanya sebagai makanan tradisional
berkelas yang mencerminkan penghormatan bagi tamu. Harga semangkuk sup
sirip hiu di beberapa restoran bergengsi di Hongkong mencapai 100 USD.
Sebuah kemenangan bagi hiu terjadi pada Juni 2005 ketika
organisasi-organisasi pelindung satwa berhasil mendesak Disneyland
Hongkong menghapus sup sirip hiu dari paket menu jamuan makan pernikahan
beberapa bulan sebelum pembukaannya.
Perubahan sikap juga dilakukan Fuchsia Dunlop, seorang chef
Inggris dengan spesialisasi masakan China, satu-satunya orang Eropa
yang mengikuti pendidikan di Sichuan Institute of Higher Cuisine di
Chengdu, Sichuan. Dia penulis beberapa buku mengenai masakan China,
termasuk memoar Shark′s Fin and Sichuan Pepper: A Sweet-Sour Memoir of Eating in China. Dalam artikelnya di BBC online pada 21 Januari 2010, Dunlop membagikan pengalaman pertamanya menghindari sirip hiu dalam sebuah jamuan makan.
Ketika penyelenggara menegurnya karena
tak menyantap sirip hiu, Dunlop sempat resah. Dia tak ingin tuan rumah
merasa tersinggung karena dia menolak hidangan yang melambangkan rasa
hormat mereka.
“Namun saya sadar, meski menolak sirip hiu mungkin sebuah usaha sia-sia, setidaknya saya dapat mulai berbincang dengan beberapa chef
China mengenai batasan moral dan kesadaran lingkungan dalam
mengkonsumsi. Saya memutuskan untuk menyampaikan apa yang saya ketahui
mengenai sirip hiu dan kegelisahan saya menyantap spesies yang akan
punah. Kemudian, terjadi momen senyap penuh kekakuan. Mereka tak pernah
mendengar pernyataan seperti ini sebelumnya...”
Di luar dugaan, penyelenggara jamuan memuji kejujuran Dunlop dan mengajaknya berdiskusi lebih lanjut. “Bicara mungkin hanyalah kata-kata, namun bagaimana kita dapat melakukan sesuatu jika tak mulai berbincang bersama?” ujar Dunlop di akhir artikel.
[Source : historia.co.id]