Share Info

6 August 2013

Pidato Anak 16 Tahun yang Menggegerkan PBB

Malal Yousafzai
PBB menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Malala Day. Ini menjadi penghargaan bagi Malala Yousafzai, remaja 16 tahun kelahiran Pakistan, 12 Juli 1997. Malala adalah anak perempuan yang ditembak Taliban karena tetap sekolah meski dilarang.

Apa yang diungkapkan Malala dalam pidatonya di hadapan Sekjen PBB Ban Ki-moon pada 12 Juli 2013? “Saya tidak tahu harus dari mana memulai pidato ini. Saya tidak tahu apa yang orang harapkan dari pidato saya, tetapi yang pertama-tama saya ucapkan adalah terima kasih kepada Tuhan yang telah membuat kita sama dan terima kasih pada semua orang yang telah berdoa untuk pemulihan saya dan kehidupan baru saya,” katanya. Setelah itu ia berterima kasih pada sejumlah pihak termasuk pada Sekjen PBB.

“Teman-teman, pada 9 Oktober 2012, Taliban menembak saya di bagian kiri kepala depan saya. Mereka menembak teman-teman saya juga. Mereka mengira bahwa peluru bisa membungkam kami, tetapi mereka gagal. Dan dari keheningan datanglah ribuan suara. Para teroris mengira mereka akan mengubah tujuan saya dan menghentikan ambisi saya. Tapi tidak ada yang berubah dalam hidup saya kecuali ini: kelemahan, ketakutan dan keputusasaan yang mati. Kekuatan, kekuasaan, dan keberanian telah lahir. Saya Malala yang sama. Ambisi saya adalah sama. Harapan saya adalah sama. Dan impian saya adalah sama. Saudara-saudara, saya tidak melawan siapa pun. Tidak juga untuk berbicara balas dendam pribadi saya terhadap Taliban atau kelompok teroris lainnya. Saya berada di sini untuk berbicara mengenai hak pendidikan bagi setiap anak. Saya ingin pendidikan bagi putra dan putri Taliban dan semua teroris dan ekstremis. Saya bahkan tidak membenci Talib yang menembak saya. Bahkan jika ada pistol di tangan saya dan dia sedang berdiri di depan saya, saya tidak akan menembaknya. Ini adalah belas kasih yang saya pelajari dari Nabi Muhammad, nabi penuh belas kasihan, Yesus Kristus, dan Buddha. Saya mewarisi warisan perubahan dari Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Mohammed Ali Jinnah,” paparnya.

“Filosofi tanpa kekerasan ini saya pelajari dari Gandhi, Bacha Khan dan Ibu Teresa. Dan belajar memaafkan dari ayah saya dan ibu saya. Ini apa yang jiwa saya katakan pada saya: damailah dan cinta setiap orang. Kita menyadari pentingnya cahaya ketika kita melihat kegelapan. Kita menyadari pentingnya suara ketika kita dibungkam. Dengan cara yang sama, ketika kami berada di Swat, bagian utara Pakistan, kami menyadari pentingnya pena dan buku ketika kami melihat senjata. Orang bijak berkata, ‘Pena lebih tajam dari pedang.’ Memang benar. Para ekstremis takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan menakutkan mereka. Mereka takut perempuan. Kekuatan suara perempuan menakutkan mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka membunuh 14 siswa bersalah dalam serangan terbaru di Quetta. Dan itulah mengapa mereka membunuh guru perempuan. Itulah mengapa mereka ledakkan sekolah setiap hari karena mereka takut perubahan dan kesetaraan yang akan kami bawa ke masyarakat kami. Dan saya ingat bahwa ada seorang anak laki-laki di sekolah kami yang ditanya wartawan kenapa Taliban melawan pendidikan? Dia menjawab sangat sederhana dengan menunjuk bukunya, ia mengatakan, ‘Thalib tidak tahu apa yang tertulis dalam buku ini.’”

“Hari ini saya fokus pada hak-hak perempuan dan pendidikan anak perempuan karena mereka paling menderita. Ada suatu masa ketika para aktivis perempuan meminta laki-laki untuk membela hak-hak mereka. Tapi kali ini kita akan melakukannya sendiri. Saya tidak mengatakan kaum laki-laki agar menjauhi membicarakan hak-hak perempuan, tapi saya fokus pada perempuan untuk mandiri dan berjuang untuk diri mereka sendiri.”

“Saudara-saudara, kita tidak boleh lupa bahwa jutaan orang menderita karena kemiskinan, ketidakadilan dan kebodohan. Kita tidak boleh lupa bahwa jutaan anak berhenti sekolah. Kita tidak boleh lupa bahwa saudara-saudara kita sedang menunggu masa depan yang cerah dan damai. Jadi mari kita lakukan perjuangan melawan buta huruf, kemiskinan, dan terorisme. Mari kita ambil buku dan pena, karena mereka inilah senjata yang paling ampuh. Satu anak, satu guru, satu buku dan satu pena bisa mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan yang pertama. Terima kasih.”

Pidato itu mendunia dan mendapat apresiasi yang luar biasa. Bukan diucapkan seorang ahli, profesor, atau tokoh besar dunia. Pidato itu dikemukakan oleh seorang remaja perempuan berusia 16 yang hampir terbunuh karena menentang pelarangan sekolah bagi anak perempuan. Itulah Malala Yousafzai.



[Source : the guardian]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month