Terkadang kita tidak habis pikir,
mengapa ada orang yang sampai betul-betul menunjukkan sikap kepala batu.
Kita kenal, di zaman dahulu, ada Raja Swedia yang tidak mau menerima
adanya tahun kabisat, sehingga Swedia pernah mempunyai perbedaan tanggal
dengan bagian dunia lain.
Dalam berbagai acara di televisi, kita
bisa melihat banyak orang yang melihat segala sesuatu secara
“hitam-putih”, dan tidak bisa menerima ideologi orang lain. Ada orang
yang betul-betul tidak mau mencoba memahami mengapa orang mempunyai
ritual atau kebiasaan lain yang berbeda dengan dirinya, sehingga ia
seolah selalu menantang perang karena ketidakbisaannya menerima
perbedaan.
Di dalam perusahaan, jelas-jelas sistem sudah harus
diubah karena tuntutan zaman, namun ada saja orang yang tetap berupaya
mempertahankan sistem lama. Begitu keras kepalanya beberapa orang,
sampai seringkali lembaga perlu secara khusus merancang pelatihan,
program, ataupun upaya perubahan, yang sebenarnya diwarnai oleh satu
hal: kekeraskepalaan individu untuk mempelajari dan mencoba hal atau
sistem baru.
Kita memang bisa saja melihat gejala ini sambil
tersenyum, karena kita sendiri pun sesekali (ataupun seringkali)
menunjukkan sikap keras kepala. Daripada mencoba mendengarkan keterangan
orang ataupun bertukar pikiran, kita kadang lebih cepat untuk
melontarkan argumen, mempersiapkan tandingan, maupun melakukan berbagai
upaya untuk melindungi diri dari serangan terhadap keyakinan kita. Bila
dipaksa untuk berubah, kita kadang malah berusaha mencari keterangan
sendiri, membuat presentasi sendiri, bahkan sibuk menerangkan kerangka
berpikir yang menurut kita lebih benar dari orang lain.
Pernahkah
kita membayangkan betapa besarnya kerugian yang bisa kita alami karena
kekeraskepalaan dan sikap tidak mau menerima pendapat yang berbeda?
Tidak hanya hubungan baik bisa terluka atau kesempatan berkembang
hilang, bahkan “pertumpahan darah” pun bisa terjadi semata karena
mempertahankan sikap keras kepala.
Bayangkan bagaimana kelompok
ataupun perusahaan berkembang, bila para eksekutifnya bertahan dengan
sikap keras kepala mempertahankan sistem yang sudah basi. Apa jadinya
kalau para menteri dalam kabinet tidak bisa menerima masukan ataupun
permintaan dari departemen lain? Betapa runyamnya bila lembaga ataupun
partai politik tidak memikirkan kooperasi, sinergi, atau sekadar
koordinasi, hanya karena sikap keras kepala?
Bukan salah individu
Ada
orang yang merasa sikap keras kepalanya bukan masalah, karena tidak
menyadari bahwa sikap ini menghambat. “Memang saya keras kepala, so what?”
begitu katanya. Ada juga individu yang sedikit-banyak bangga dengan
kekeraskepalaannya, malah berkomentar, ”Kalau tidak ada yang keras
kepala, perusahaan ini tidak jadi begini.” Individu yang keras kepala
tidak mau berubah kerap mempermasalahkan lingkungan daripada melakukan
introspeksi diri, “Yah, gimana kita mau berubah, kalau kultur di negara
kita seperti ini.”
Semua bentuk pembenaran ini, tentu tidak akan
memperbaiki keadaan. “Kepala batu” baru bisa dilunakkan bila individu
sadar dirinya keras kepala, yang kemudian diikuti oleh keinginan untuk
berubah yang kuat. Bila seseorang mengakui, “Ya, saya sangat sadar
kelemahan saya ini, namun rasanya begitu sulit untuk mengubahnya,” di
sinilah kita akan melihat titik terangnya.
Seorang ahli
mengatakan bahwa sikap keras kepala bukan “salah” individu, namun
“kesalahan” dari kekuatan bawah sadar dari individunya. Kita memasukkan
pengalaman pahit, manis, pengetahuan, keyakinan, penilaian, dan
kebiasaan diri kita, ke alam bawah sadar kita. Alam bawah sadar kita
mengunci materi-materi tersebut, terutama bila kebiasaan-kebiasaan kita
ini mendukung dan menguatkan keyakinan kita. Hal-hal yang berada di alam
bawah sadar, tidak bisa dibongkar dengan mudah. Kita bahkan sangat
sulit mengingat-ingat kembali apa yang pernah terlintas di alam sadar
kita dan terkubur dalam.
Sayangnya, alam bawah sadar kita tidak
mempunyai mekanisme koreksi secara otomatis. Jadi ibarat sebuat CPU
komputer, alam bawah sadar kita tidak mempunyai mekanisme defragmenter, clean up,
atau membuang file-file yang tidak berguna lagi. Inilah penyebab sikap
keras kepala seolah begitu sulit diubah, meskipun individunya sendiri
ingin berubah.
Sadar bahwa kita ingin lebih “open minded”
namun tidak punya kontrol terhadap alam bawah sadar kita, maka upaya
yang harus kita lipatgandakan bukan melawan orang lain atau bersikap
defensif, namun justru melawan alam bawah sadar kita, alias diri sendiri
juga. Pertama-tama, kita perlu memasukkan materi ke dalam diri sendiri,
melalui keyakinan diri, niat dan "self talk" bahwa kita adalah
mahluk pembelajar, mahluk pendengar, dan selalu ingin memasukkan
hal-hal baru dalam pertimbangan diri kita. Ini yang harus dicemplungkan
ke alam bawah sadar kita banyak-banyak, sehingga reaksi-reaksi spontan
kita pun terpengaruhi untuk bersikap terbuka.
Mencerna itu keren
Kita
tidak boleh membiarkan diri berkehendak untuk mempunyai kontrol situasi
yang sempurna. Ketakutan si alam bawah sadar akan kehilangan kontrol,
perlu dikalahkan oleh kekuatan kesadaran baru dengan keyakinan bahwa
kontrol situasi memang tidak bisa kita pertahankan dalam dunia dan
lingkungan yang sudah menganut keterbukaan begini.
Keseimbangan
justru bisa kita dapatkan dari pertimbangan-pertimbangan baru, semacam
menimbang antara baru dan lama, faham kiri dan kanan, ortodoks dengan
yang modern. Kita perlu meyakini bahwa ketrampilan mencerap perlu
diasah. Kita perlu mendengar dengan kapasitas penuh. Mana mungkin kita
bisa menerima informasi bila kita mendengar setengah hati, separuh
jalan, atau sambil berpikir dan berkonsentrasi pada isi pembicaraan kita
saja?
Kita perlu sadar dan meyakini bahwa keinginan kita
berbicara harus kita hentikan pada waktu kita menerima data yang
disampaikan orang lain. Dengan demikian informasi yang masuk bisa
diolah. Mari mencerap, kemudian mencerna.
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA