by : Jodhi Yudono
matikan siaran televisi itu nak,
aku tak mau kau terseret oleh kabar sampah yang menggunung di sana berupa silang sengketa pergunjingan para pesohor negeri ini, dan
kau tahu nak, ayah sedemikian cemas kau tertular virus kebengisan yang
dipancarluaskan secara berulang-ulang; ayah membunuh anak, keponakan
membantai paman, adu cek-cok antar-warga, debat kusir para pembual,
sampai perang tanding antar-suku, semuanya tersaji tanpa penghalang kepatutan.
Marilah nak, lebih baik kita main petak umpet, main damdas, dan saling kejar. Ayah yakin itu lebih bermanfaat bagi jiwa ragamu ketimbang
berlama-lama di depan kotak elektronik yang bisa membuatmu gampang
sakit dan jauh dari ayah, ibu serta saudara-saudaramu.
matikan segera televisimu nak,
sebab televisi kini telah menjelma nenek sihir yang akan menyulapmu menjadi kerbau dungu dengan tayangan-tayangan sinetron yang menghina
akal sehat kita, dengan iklan-iklan yang akan membawamu ke dunia mimpi
sampai membuatmu cuma kepingin membeli dan tak pernah terfikir untuk mencipta.
Matikan televisimu, nak
ayo
cari kawan-kawanmu di lapangan bola, di taman-taman kota, di pinggir
kali, di mushola, atau di jalanan. Percayalah, di sana ragamu bakal lebih kuat, jiwamu kian terasah, dan akalmu akan lebih cerdas memahami kehidupan (JY, matikan televisimu, nak)
Anak-anak
memang menjadi pelengkap penderita dari tayangan televisi. Ini dapat
dilihat dari dari hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan
Anak Indonesia tahun 1997 tentang program tayangan di stasiun televisi
Indonesia. Hasilnya ternyata cukup mengejutkan, jumlah persentase acara
televisi terutama yang ditujukan bagi anak-anak masih relatif kecil,
hanya 2,7-4,5 persen dari keseluruhan tayangan lainnya.
Dan
celakanya, dari persentase tayangan yang sedikit itu juga memiliki
materi yang sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan anak-anak. Salah
satunya adalah banyak mengandung adegan antisosial dari pada adegan
proporsional. Adegan proporsional artinya tayangan yang
mengandung
nilai-nilai dan makna positif seperti disiplin, jujur rendah hati cinta
keluarga, sementara tayangan antisosial mengandung nilai-nilai makna
negatif seperti kekerasan, kemewahan, pornografi dan mistik.
Tak
cuma kelangkaan pada program anak. Ternyata tayangan yang menjauhkan
sikap pemirsa dari rasa nasionalisme juga tak sedikit. Menteri
Komunikasi dan Informatika RI Tifatul Sembiring pada tahun 2010 menilai
14 persen tayangan televisi swasta merusak national character buliding. Mereka yang memberikan lisensi dalam tayangan televisi harus mempertanggungjawabkan tayangan yang disiarkan.
"Menurut
sebuah riset sekitar 14 persen tayangan televisi di Indonesia dapat
merusak national character building," ujar Tifatul Sembiring seusai
acara Asia-Europe Meeting (ASEM) Forum on Strengthening Coorporation in
ICT Research & Developing di Hotel Golden Flower, Bandung, Selasa,
20 Juli 2010.
Begitulah, agaknya media televisi di negeri ini
memang dibangun dengan semangat paling besar untuk mencari keuntungan
dan sisanya baru untuk kepentingan ideal. Alasan pengelola televisi,
seperti juga alasan kebanyakan pengelola media lainnya, lantaran mereka
harus juga
menghidupi banyak manusia yang bekerja di dalamnya. Maka, mengabdi kepada laba rasanya bukanlah dosa.
Maka
kini, sejak para pemilik stasiun televisi juga berkiprah di partai
politik, "beban" pemirsa pun kian berat. Sebab, ada yang seperti
dipaksakan pada siaran beberapa televisi yang pemiliknya adalah ketua
partai atau calon presiden/wakil presiden. Ya, ya...Pemilihan Umum untuk
memilih wakil rakyat dan presiden memang baru akan berlangsung tahun
depan, tapi panasnya kini sudah mulai terasa di jalan-jalan dan ruang
publik lainnya serta di ruang-ruang keluarga, terutama melalui televisi.
Maklumlah, untuk media yang saya sebut terakhir itu beberapa di
antaranya memang sudah menjadi corong pemiliknya untuk menyambut Pemilu
2014 nanti. Walhasil, televisi yang seharusnya mengabdi kepada
kepentingan publik, belakangan justru mengabdi kepada pemiliknya.
Padahal
masa kampanye partai di media menggunakan frekuensi publik bila merujuk
aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum dimulai. Tetapi masyarakat
hampir saban hari disuguhi berita dan iklan calon presiden dan partai
demi meningkatkan popularitas dan elektabilitas.
Mendapatkan
kenyataan ini, KPI menegaskan akan memantau kampanye partai di televisi
dan radio, terutama untuk program non-iklan, seperti berita,
bincang-bincang, atau teks berjalan. Pengawasan dilakukan KPI mengacu
pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran serta
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Berdasarkan
aturan itu, program non-iklan lembaga penyiaran tidak boleh untuk
berkampanye.
Memang, bukan jaminan seorang tokoh poloitik atau
partai bisa memenangi Pemilu jika mereka kerap muncul di media televisi.
Contoh konkretnya adalah Barack Obama pada pemilihan presiden Amerika
Serikat tahun lalu. Keberhasilan politikus Partai Demokrat Amerika
Serikat ini bukan didukung stasiun televisi. Hal serupa dialami oleh Joko Widodo yang tidak terlalu banyak beriklan di televisi.
Praktisi
pertelevisian Ishadi mengatakan, stasiun televisi harus berpihak kepada
masyarakat. Kalau tidak, akan ditinggalkan oleh penonton. Dia yakin
makin sering sebuah stasiun menyiarkan partai tertentu, kian banyak
orang tidak menonton stasiun itu dan tidak ada
iklan. "Saya sih
tidak khawatir misalnya Surya Paloh satu jam di Metro TV. Kita sih
senang saja sebagai kompetitor karena tidak ada yang nonton."
Seharusnya
memang, semangat untuk berpihak kepada masyarakat harus lebih tinggi
ketimbang keberpihakan kepada juragan televisi. Tak lucu bukan,
mentang-mentang belum ada aturan mainnya, pemilik stasiun televisi bisa
bebas menggunakan dan menguasai frekwensi sedemikian rupa untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok.
Tapi lihatlah sekarang,
Metro TV "wajib" menyiarkan kegiatan Surya Paloh dan partainya, pun
demikian dengan Aburizal Bakri yang memiliki TV One dan ANTV, serta Hary
Tanoesoedibjo yang memiliki RCTI, Global TV, dan MNC TV. Maka jadilah
ruang keluarga menjadi ajang
kampanye, melengkapi siaran-siaran yang
"dipaksakan" oleh pemilik stasiun televisi itu sendiri untuk pencitraan
dan pesan-pesan pribadi lainnya dari sang pemilik stasiun kepada
khalayak.
Tentu, para pemilik stasiun televisi itu paham benar,
betapa dahsyatnya media televisi. Kotak ajaib itu bisa membuat orang tak
dikenal menjadi terkenal, membuat peristiwa yang biasa-biasa saja bisa
menjadi luar biasa. Dan kini Aburizal menuai hasilnya. Dengan
kemunculannya
secara rutin di ANTV dan TV One, elektabilitas ARB yang semula hanya
5,9 % di bulan Desember 2012, pada Juni 2013 melambung ke angka 8,8
persen (kompas, 26 Agustus 2013). Maklumlah, dibandingkan dengan media
massa (radio, surat kabar, majalah, buku dan lain sebagainya), televisi
tampaknya mempunyai sifat yang lebih istimewa. Televisi merupakan
gabungan dari media dengar dan gambar hidup (live).
Maka tak
heran jika pemirsa televisi di Indonesia mencapai 95 persen dari jumlah
penduduk, seperti yang pernah diungkap oleh CEO MNC Group Hary
Tanoesoedibjo. Hary mengatakan, masyarakat Indonesia yang jumlahnya
hampir mencapai 250 juta, sebanyak 95 persen di
antaranya
mendapatkan informasi dari televisi. Kedua, masyarakat mendapat
informasi dari Internet (30 persen), kemudian berturut-turut radio (23
persen) dan cetak (12 persen). Pernyataan yang disampaikan Hary Tanoe
pada sambutan acara Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Rabu, 26 Juni
2013.
Itu artinya, para pemilik stasiun tahu benar betapa media
televisi bukan saja bisa mendatangkan banyak laba, tetapi juga bisa
mendongkrak popularitas mereka.
Pengamat penyiaran Indonesia Ade Armando pernah wanti-wanti, lembaga penyiaran publik menjadi rawan dipolitisasi, "Berbahaya nanti kalau media sudah jadi kepentingan politik."
Armando
menambahkan, orang akan sulit membedakan apakah mereka tampil karena
membeli jam tayang atau karena kuatnya nilai berita. Jika disebut
membeli jam tayang, kemunculan mereka di stasiun televisi bisa jadi
tidak membayar. Sebab itu televisi mereka sendiri dan tidak
dapat disebut pelanggaran.
Ketidakjelasan
posisi politikus ketika muncul di program siaran stasiun telebisi ini
menurut Armando bisa berbahaya bagi lembaga penyiaran publik. Sebab,
masyarakat memiliki hak mendapat siaran benar dan berimbang.
Padahal
fungsi media televisi dan media lainnya mestinya memang
sebesar-besarnya ditujukan untuk kepentingan pemirsa. Sebab memang semua
media didirikan dengan tujuan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan
publik, bukan untuk memenuhi keinginan pemiliknya.
Yang pertama,
sebagai pemberi informasi. Perkara pemberi informasi, pastilah
berurusan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal yang paling
sederhana adalah informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dia
bisa berkait dengan bencana, harga kebutuhan
pokok, penemuan baru, dan sebagainya.
Selanjutnya,
fungsi media adalah sebagai "anjing penjaga" bagi bangsa dan negerinya
dari kecurangan yang diperbuat oleh siapapun. Kecurangan itu bisa
bernama korupsi, perusakan hutan dan lingkungan hidup, dan
praktik-praktik kecurangan baik di pemerintahan, parlemen maupun hukum.
Fungsi
ketiga, adalah alat propaganda, baik dalam arti sempit maupun luas.
Dalam arti sempit, media televisi adalah sarana yang manjur untuk
mempromosikan barang dagangan. Dalam arti luas, media televisi bisa
menjadi corong bagi negara ke pihak asing dalam rangka membangun citra
dan mendatangkan turis atau modal asing.
Fungsi keempat adalah sebagai sarana hiburan. Untuk perkara ini, kita mengenal sinetron, talkshow, musik, infotainment, dan seterusnya.
Nah,
jika kita melihat sebagian besar televisi kita, sudahkah mereka
menyajikan apa yang kita butuhkan dan inginkan sesuai fungsi-fungsi di
atas?
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA