 |
Ir. Soekarno |
Soekarno
mengembuskan napas terakhirnya tepat pukul 07.07 WIB, Minggu 21 Juni
1970 setelah menderita komplikasi penyakit yang cukup parah. Hari-hari
terakhir Soekarno dihabiskannya dalam kesendirian, diasingkan oleh bangsanya sendiri.
Setelah Soeharto dilantik menjadi presiden pada bulan Maret 1967, Soekarno
menetap di paviliun Istana Bogor ditemani istri keempatnya, Hartini.
Setiap hari, Hartini dengan sabar dan penuh kasih sayang melayani Soekarno selama sepekan penuh. Kondisi Soekarno
saat itu masih cukup sehat, dan dia seringkali mengunjungi anak-anak
dari istrinya Fatmawati yang masih tinggal di Istana Negara. Ketika sore
menjelang, Soekarno kembali ke Bogor. Sementara Fatmawati sudah mengungsi ke rumah di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Status Soekarno saat itu sudah ditetapkan sebagai tahanan politik oleh Soeharto terkait peristiwa G30 S/PKI. Karena khawatir dengan Soekarno yang masih 'berkeliaran', Soeharto kemudian memperketat pengawasan. Belakangan Soekarno tidak dibebaskan masuk wilayah Jakarta dan harus mendapat izin dari Pangdam Siliwangi dan Pangdam Jaya untuk melintas.
Keadaan berubah drastis, saat Soeharto memerintahkan seluruh anak Soekarno
keluar dari Istana Negara. Saat itu, sekitar awal Agustus 1967, Guntur,
Megawati, Rachmawati, Fatmawati, dan Guruh diberi waktu 2x24 jam untuk
pindah. Mereka kemudian mengungsi ke sebuah rumah kontrakan yang tak
jauh dari rumah ibunya di Jl Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Soekarno
pun mendapat perlakuan yang sama. Pada bulan Desember 1967, dia diminta
keluar dari paviliun Istana Bogor. Bersama Hartini kemudian Soekarno pindah ke sebuah rumah di kawasan Batutulis Bogor.
Saat Soekarno tidak lagi menjadi presiden, tim dokter kepresidenan yang diketuai Prof Siwabessy dengan anggota dr Soeharto, dr Tang Sin Hin, dan Kapten CPM dr Soerojo yang paham rekam medis Soekarno dibubarkan pada Juli 1967. Sejak itulah, penanganan penyakit Soekarno jauh dari memadai.
Seperti dikutip dari buku 'Hari-hari Terakhir Sukarno' yang ditulis Peter Kasenda, penyakit utama Soekarno
hingga dia menutup mata adalah hipertensi atau darah tinggi yang
dipengaruhi ginjalnya yang sudah tidak berfungsi maksimal. Ginjal kiri Soekarno sudah tidak berfungsi sama sekali, sedangkan fungsi ginjal kanan tinggal 25 persen.
Selain
itu, ada penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung,
dan gejala gagal jantung. Komplikasi penyakit inilah yang menyebabkan
tubuh Soekarno terus membengkak. Namun Soekarno menolak upaya transplantasi ginjal. Soekarno
pun kerap mengeluhkan dadanya yang sakit jika batuk-batuk. Saat
di-rontgen, ditemukan tulang rusuk yang retak. Demikian juga paru-paru Soekarno
yang mengalami bronchi basah disertai keluhan sesak napas. Belum lagi
bibit katarak di matanya yang membuat penglihatannya berkurang.
Dengan kondisi yang cukup parah itu, Soekarno
tidak mendapat penanganan yang tepat. Ditambah kawasan Bogor yang
hawanya terlalu dingin, membuat penderitaannya bertambah parah, terutama
penyakit rematiknya. Apalagi, satu-satunya dokter yang merawat Soekarno saat itu, dokter Soerojo bukanlah dokter spesialis. Sang dokter seringkali enggan datang saat Soekarno membutuhkan pertolongan dan obat-obatan. Tak pernah ada langkah konkret dari Presiden Soeharto untuk memenuhi permintaan alat kesehatan seperti alat cuci darah yang sangat dibutuhkan.
Di awal tahun 1968, penyakit Soekarno
bertambah. Giginya mengalami ngilu yang luar biasa saat minum air
dingin dan sering berdarah. Namun upaya untuk berobat ke Jakarta ditolak
oleh Pangdam Jaya dan Soekarno
hanya diizinkan berobat di Bogor saja. Penyakit itu ditambah lagi
dengan radang sendi di bagian tangan dan pinggulnya. Secara psikis, Soekarno mengalami depresi berat, sulit tidur dan pelupa.
Kondisi yang terus memburuk itulah yang membuat Hartini sedih. Atas permintaan Soekarno, Hartini mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto.
Hartini memohon agar suaminya diizinkan pindah ke Jakarta agar mendapat
perawatan yang lebih layak dan menghindari udara Bogor yang dingin.
Surat itu dilampirkan keterangan medis Soekarno berikut rekomendasi dari menteri kesehatan dan tim dokter kepresidenan.
Berbulan-bulan
surat itu tidak mendapat tanggapan. Hingga akhirnya, Hartini berupaya
kembali mengirimkan surat yang kedua kali. Namun kali ini, Hartini
meminta Rachmawati untuk mengantarkan surat itu langsung kepada Presiden
Soeharto di Jalan Cendana.
"Mula-mula
aku diterima Ibu Tien di lantai bawah. Kemudian langsung diajak naik ke
atas dan ditemui oleh Pak Harto. Aku menyampaikan maaf dan menyerahkan
surat Bapak serta sekaligus menceritakan bagaimana keadaan Bapak yang
sesungguhnya. Hanya satu yang kumohon ketika itu, agar Bapak diizinkan
kembali ke Jakarta. Entahlah kekuatan apa yang mendorongku untuk
memberanikan diri berjumpa dengan Bapak Soeharto. Betapa aku merasa plong. Pak Harto berjanji akan berusaha mengatur kepindahan Bapak," tulis Rachmawati dalam buku 'Bapakku-Ibuku'.
Setelah itu, Soekarno
akhirnya dipindahkan ke Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) di Jl
Gatot Subroto pada sekitar Februari tahun 1969. Di Wisma Yaso, kondisi Soekarno tidak semakin membaik. Ketika tubuhnya yang semakin renta digerogoti penyakit, Soekarno secara terus menerus diinterogasi oleh perwira Kopkamtib untuk mengorek keterlibatannya dalam Gerakan 30 September. Soekarno malah balik memarahi petugas yang memeriksanya ketika ditanya apakah dia terpedaya oleh PKI.
"Berkali-kali saya tanyai Bung Karno soal hubungannya dengan Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya. Bung Karno selalu marah besar kalau dia dianggap telah diperalat PKI atau dia berada di belakang rencana kup yang gagal itu. Bung Karno selalu berkata bahwa sesungguhnya ia ingin menyatukan berbagai perbedaan di bawah panji nasionalisme-agama-komunis."
Demikian pengakuan Mayjen Kartoyo, salah satu perwira dari Polisi Militer yang menginterogasi Soekarno. Interogasi terhadap Soekarno baru berakhir di awal tahun 1970 ketika Soekarno mengeluhkan hal itu kepada ketua tim dokter kepresidenan Mahar Mardjono.
Selama di Wisma Yaso, Soekarno
pernah diizinkan untuk menghadiri pernikahan putrinya Rachmawati yang
disunting seorang dokter bernama Martomo Pariatman Marzuki atau yang
sering dipanggil Tommy. Soekarno juga pernah diizinkan berkunjung ke Bogor untuk menemui Hartini.
Selama
di Wisma Yaso dari tahun 1969 sampai mengembuskan napas terakhir tahun
1970, sejumlah perawat yang secara bergantian merawat Soekarno sempat membuat catatan medis bulanan. Di tahun terakhir hidupnya, tensi darah Soekarno selalu tinggi. Paling rendah 170/90 dan puncaknya mencapai 360/200 saat Soekarno meninggal di RS Pusat Angkatan Darat.
Setiap sarapan, Soekarno
selalu menenggak sejumlah obat wajib seperti duvalidan (pencegah
kontradiksi ginjal), methadone (pengurang rasa sakit), hingga valium
(obat tidur). Kondisinya terus melemah hingga tidak dapat bangkit dari
tempat tidur, mandi dan buang air dilakukan di tempat tidur.
Jika memperhatikan catatan medis yang dibuat para perawat, terungkap jika perawatan yang diberikan terhadap Soekarno tidak maksimal. Perawatan di hari-hari terakhir Soekarno
diserahkan sepenuhnya kepada dr Soerojo, yang jelas-jelas bukan dokter
spesialis, melainkan dokter hewan! Demikian pula dengan jenis obat yang
diberikan tidak tepat sasaran. Selain beberapa jenis obat rutin itu, Soekarno hanya diberi suntikan vitamin B1 dan B12.
Salah satu obat yang memberikan dampak buruk adalah valium yang membuat Soekarno
tidurnya tidak terkontrol, tapi setelah bangun badannya terasa lemah
dan kepalanya pusing. Akibatnya, kondisi tubuhnya makin buruk dan
perawat hanya memberikan obat pengurang rasa sakit, novalgin.
Saat kondisinya semakin parah, Soekarno tetap menolak dibawa ke RSPAD, sampai akhirnya dengan sedikit paksaan dan bujukan dari Hartini membuat Soekarno luluh. Menjalani perawatan selama beberapa hari di RSPAD, Soekarno mengembuskan napas terakhir. Sang Proklamator, Bapak Bangsa, dan Pemimpin Besar Revolusi meninggal dalam kondisi menyedihkan.