Tiga sifat, yakni malu, takut, dan cinta ternyata menjadi kekuatan
yang luar biasa untuk menggerakkan orang. Seseorang melakukan atau tidak
melakukan sesuatu karena didorong oleh salah satu dari ketiga sifat
itu. Oleh karena rasa malu tidak akan lulus misalnya, maka seorang
mahasiswa terpaksa tidak tidur semalaman, belajar menghadapi ujian.
Karena malu selalu ditegur tentang skripsi, atau tesis, dan bahkan
disertasinya yang tidak selesai-selesai, maka mahasiswa yang
bersangkutan tidak pernah istirahat menyelesaikan tugasnya itu.
Selain malu, sesorang bergerak atau tidak bergerak karena didorong
oleh rasa takut dan cinta. Karena takut dimarahi oleh orang tuanya, maka
seorang anak tidak berani pulang ke rumah. Karena rasa takut maka
seseorang terpaksa bekerja seharian tidak mengenal lelah menyelesaikan
tugasnya. Karena takut sebatas ditegur oleh atasan, maka seorang bawahan
tidak berani pulang duluan sebelum pimpinannya pulang.
Demikian pula
didorong oleh rasa cinta, maka seorang pemuda melakukan apa saja agar
wanita yang dicintai berpihak padanya. Seorang tokoh mengorbankan apa
saja yang dimiliki, untuk membela pengikut yang dicintainya.
Antara rasa takut dan malu, sekalipun keduanya merupakan kekuatan
penggerak, masing-masing memiliki perbedaan. Rasa takut mendorong
seseorang melakukan atau justru menghindari dari sesuatu karena
keterpaksaaan. Yaitu terpaksa dilakukan oleh karena takut datangnya
ancaman yang tidak mengenakkan. Berbeda dengan takut adalah rasa cinta.
Atas dasar rasa mencintai maka seseorang melakukan sesuatu, dan bahkan
dengan perasaan cinta itu pula maka seseorang berani berkorban. Oleh
karena maka sering muncul kalimat indah, yakni cinta adalah pengorbanan.
Akhir-akhir ini ketiga sifat itu rasanya semakin kurang mewarnai
kehidupan masyarakat, dan bahkan hilang. Dulu, jika seseorang memiliki
saudara terlibat criminal, sekalipun sederhana, misalnya dituduh
mencuri, maka tidak saja yang bersangkutan, bahkan saudara-saudaranya
pun menghindar karena malu. Berbeda dengan itu, pada saat sekarang ini,
maka jangankan melakukan kesalahan kecil-kecilan, bahkan berkorupsi
milyardan rupiah sekalipun, seperti tidak ada sesuatu yang dirasakan
mengganggu.
Berbagai kejahatan dilakukan atas dasar kalkulatif. Melakukan korupsi
milyardan rupiah, lalu dihukum beberapa tahun, dianggap lebih untung
daripada bekerja yang tidak akan mendapatkan keuntungan sebesar itu.
Keanehan lain, seseorang merasa biasa menjenguk saudaranya ke penjara,
karena terlibat criminal. Melakukan kejahatan hingga dihukum sudah tidak
dirasakan sebagai sesuatu yang nista, bahkan aib.
Orang-orang dahulu, oleh karena rasa malu, maka tidak berani
mencalonkan diri sebagai pimpinan masyarakat, takut kalau di kemudian
hari akan dipandang tidak mampu. Sekarang ini, yang terjadi justru
sebaliknya. Tanpa melihat kemampuan dirinya, prestasi yang pernah
dihasilkan, berkampanye agar dipilih sebagai calon pemimpin. Bahkan,
sekalipun tidak memenuhi syarat, seseorang berani menempuh jalan yang
kurang terpuji, misalnya dengan cara membayar atau membeli suara,
menyuap atau menyogok, memalsukan persyaratan dan lain-lain.
Rupanya ketiga sifat tersebut yaitu malu, takut, dan cinta sudah dibeli
atau diganti dengan uang. Budaya masyarakat sudah bersifat
transaksional. Apa saja sudah dapat digerakkan dengan uang, bahkan untuk
mengejar uang, maka rasa malu, takut, dan cinta sudah ditinggalkan.
Pepatah yang mengatakan bahwa, jika sudah tidak punya rasa malu, maka
berbuatlah sekehendak hatimu. Maka, pepatah itu ternyata sudah menjadi
kenyataan di tengah masyarakat luas. Rasa malu, takut, dan cinta sudah
semakin sulit didapatkan.
Ironinya lagi bahwa hal semacam itu sudah menembus ke semua wilayah
kehidupan. Bahkan wilayah yang seharusnya dijaga dari kegiatan
transaksional sekalipun, pada saat ini sudah dijalankan seperti halnya
di pasar. Semua sudah dijalankan dengan pendekatan transaksional. Bahkan
sampai-sampai, seorang tokoh agama, baru bersedia memimpin doa, asal
diberi honorarium. Bayangkan, memimpin permohonan kepada Tuhan pun
memerlukan honor. Kita juga melihat gejala menyedihkan lainnya, bahwa
orang tidak lagi merasa malu mengikuti pendidikan dengan pendekatan
transaksional. Belajar dan tugas-tugasnya diselesaikan ala kadarnya,
asalkan membayar, kemudian lulus dan disandanglah gelar akademik.
Tiga sifat luhur sebagai penyangga peradaban, akhir-akhir ini sudah
semakin hilang, dan digantikan dengan uang. Sebagai akibatnya, tatkala
orang tidak memiliki rasa malu, takut, dan cinta, maka terjadilah saling
berebut apa saja. Sebaliknya, yang muncul adalah saling membangun
kekuatan masing-masing untuk mendapatkan kemenangan dan keuntungan.
Sebab dirasakan, ternyata siapa yang kuat, maka merekalah yang menang
dan menganggapnya akan mendapatkan kebahagiaan. Suasana perebutan
semacam itu, pada saat ini sudah tampak sejak dari hulu hingga hilir.
Mengamati dan sekaligus melihat kenyataan itu, seorang teman
merasakan keprihatinannya, kemudian mengajak berdiskusi, bagaimana
mengatasi persoalan itu. Saya menjawabnya ringan, ialah ajaklah bangsa
ini agar memiliki rasa malu, takut, dan cinta, sebagaimana masyarakat
dahulu telah memeliharanya. Jika mau merenung secara mendalam, saya
yakin akan ditemukan kesimpulan bahwa sesungguhnya bangsa ini bukan
miskin sembako, melainkan adalah masih miskin dari sifat-sifat mulia
tersebut, termasuk di kalangan sebagian para pemimpinnya. Wallahu a’lam.
[Source : http://jihadsabili.wordpress.com]
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA