by : Mulyana
Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak
cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, yaitu kemampuan untuk
menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini adalah sebuah
keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan.
Suatu hari di tepian kota. Waktu menunjukkan hampir tengah malam.
Sepasang suami istri setengah baya itu mengemasi dagangannya. Sang istri
membereskan piring, gelas dan perabot lain. Sedangkan si suami
memasukkannya dalam gerobak.Sesaat mereka menghitung berapa laba yang
masuk. Siapa pun tahu, penghasilan tak selalu datang seperti yang
diharapkan.
Terkadang hujan turun, pada waktu lain petugas ketertiban
menghalau, atau kadang semuanya begitu menggembirakan.Manis dan asam
memang bumbu penyedap sehari-hari. Yang pasti, esok, kehidupan sekali
lagi harus dijalani. Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa
menutupi muka seringkali tak cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan
batin, yaitu kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang
bilang, ini adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah
kepasrahan. Sepasang suami istri itu berjalan bergegas. Yang laki
mendorong gerobak, yang perempuan terkantuk-kantuk duduk di atasnya.
Keduanya berlalu menembus malam. Hidup memang bukan untuk dijalani
sendiri. Tapi bersama-sama; teman, sahabat, keluarga atau tetangga.
Hidup adalah untuk saling kuat-menguatkan, topang-menopang, serta
kasih-mengasihi.
Dalam konteks itulah, Islam mengajarkan hidup
yang sesungguhnya. Hidup yang tidak hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan dan mempertahankan eksistensi diri. Tapi lebih dari itu, Islam
mengajarkan kita meraih kehidupan yang bermakna, bermanfaat,
bertanggung jawab, dan berorientasi ke masa depan (perhatikan QS 28:77).
Esensi kebersamaan dalam hidup adalah adanya tolong-menolong dalam
perbuatan kebajikan dan taqwa (QS 5:2), saling menasehati dalam
kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (QS 90:17, 103:3), dan saling
mengingatkan dalam keimanan (QS 16:125). Dalam konteks kehidupan
berbangsa, pengalaman empiris bangsa ini telah membuktikan dengan
kebersamaan pendahulu dan pendiri bangsa ini berhasil meraih dan
mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula dengan negara Jepang, misalnya,
mereka bangkit dan kini menjadi salah satu negara maju dengan
bermodalkan kebersamaan dan tekad yang kuat. Namun kondisi ironis
terjadi saat ini.
Dikala bangsa ini belum bisa bangkit dari
keterpurukan multidimensional, sebagian grassroot hingga elite sering
terlibat â€کtawuran’. Kaum elite lebih mementingkan bagaimana
mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan daripada memikirkan
kesejahteraan rakyat. Sementara penegakan hukum pun jauh dari rasa
keadilan masyarakat. Bahkan satu penelitian menyebutkan bahwa lembaga
peradilan bak seperti tempat lelang dimana orang yang memiliki penawaran
tertinggilah yang akan menang.
Sudah saatnya kita sadar dan
bangkit dari keterpurukan. Singsingkan lengan baju, tahan emosi, tatap
masa depan, duduk bersama dan renungkan solusi untuk bangkit. Mari kita
bersama-sama raih dan rasakan indahnya kebersamaan. Wallahu aâlam bi
ash Shawab
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA