Alkisah, ada seorang pemuda tampak mendatangi seorang tua bijak untuk
bertanya, “Paman, saya menempuh perjalanan jauh ini, sesungguhnya untuk
menemukan jawaban, bagaimana caranya membuat diri sendiri selalu
gembira dan bahagia? Dan, sekaligus bisa membuat orang lain selalu
gembira?”
Sesaat, si paman menatap sambil menilai kesungguhan raut wajah rupawan
di hadapannya. Sambil tersenyum bijak, dia berkata, ”Anak muda,
mengingat usiamu yang masih begitu muda, terus terang paman terkejut dan
tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Baiklah, untuk
menjawab pertanyaanmu, paman akan memberimu empat kalimat sakti.
Perhatikan baik-baik ya...”
”Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!” Kemudian, si
paman melanjutkan dengan pertanyaan, ”Anak muda, apakah kamu mengerti
kalimat pertama ini? Coba pikir baik-baik dan beri tahu paman apa
pengertianmu tentang kalimat tadi?”
Tidak lama kemudian, si pemuda dengan gembira menjawab, ”Saya coba jawab
ya Paman, tapi tolong dikoreksi jika salah. Jika saya bisa menganggap
diri saya seperti orang lain, maka saat saya menderita, sakit dan
sebagainya, dengan sendirinya perasaan sakit itu akan jauh berkurang.
Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami kegembiraan yang luar biasa,
dengan menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka kegembiraan itu
tidak akan membuatku lupa diri. Apakah betul Paman?”
Dengan wajah senang si paman mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan berkata, “Kalimat kedua, anggap orang lain seperti dirimu sendiri!”
Setelah berpikir sejenak, kemudian...perlahan ia mengulangi kata-kata si
paman, ”Anggap orang lain seperti diri kita sendiri... Dengan
menganggap orang lain seperti diri kita, maka saat orang lain sedang
tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan mengulurkan tangan untuk
membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan dan keinginan orang
lain. Berjiwa besar serta penuh toleransi. Betul Paman?”
Dengan raut wajah makin cerah, si paman berkata, ”Lanjut ke kalimat ketiga. Camkan kalimat ini baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!”
Si anak muda terlihat kembali berpikir. Tak lama , ia mengutarakan
pendapatnya, ”Kalimat ketiga ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai
privacy orang lain, menjaga hak asasi setiap manusia dengan sama dan
sejajar. Sehingga, kita tidak perlu saling menyerang wilayah dan
menyakiti orang lain. Tidak saling mengganggu. Setiap orang berhak
menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan atau berbeda
pendapat, masing-masing bisa saling menghargai.”
Selesai berkata-kata, terdengar sang paman tertawa, ”Bagus, bagus
sekali! Ketiga kalimat telah kamu artikan dengan sangat baik. Nah,
sekarang kalimat keempat, anggap dirimu sebagai dirimu sendiri!
Paman telah menyelesaikan semua jawaban atas pertanyaanmu. Anak muda,
kalimat yang terakhir memang sesuatu yang sepertinya tidak biasa. Karena
itu, renungkan baik-baik,” kata si paman sambil beranjak dari tempat
duduknya.
Sampai beberapa waktu, pemuda itu tampak kebingungan dan kembali mencari sang paman.
”Paman, setelah memikirkan keempat kalimat tadi, saya merasa ada
ketidakcocokan, bahkan kontradiktif. Bagaimana caranya saya bisa
merangkum keempat kalimat tersebut menjadi satu? Dan, perlu waktu berapa
lama untuk mengerti semua kalimat Paman sehingga aku bisa selalu
gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga gembira?”
Spontan, si paman menjawab, ”Gampang. Renungkan dan gunakan waktumu seumur hidup untuk belajar dan mengalaminya sendiri.”
Si pemuda berkelana dan belajar hingga usia tua. Saat dia meninggal,
orang banyak menjulukinya sebagai, ”Orang bijak yang selalu gembira dan
senantiasa menularkan kegembiraannya kepada setiap orang yang
dikenalnya”.
Pembaca yang luar biasa,
Keempat kalimat di atas, yakni:
1. anggap dirimu seperti orang lain;
2. anggap orang lain seperti dirimu;
3. anggap orang lain seperti mereka sendiri;
4. anggap dirimu sebagai dirimu sendiri;
memang bukan sesuatu yang mudah untuk dimengerti, apalagi dipraktikkan.
Sebagai makhluk sosial, kita dituntut untuk belajar mencintai kehidupan
dan belajar berinteraksi dengan manusia lain di muka bumi ini. Selama
kita mampu menempatkan diri, tahu dan mampu menghargai hak-hak orang
lain, serta mengerti pula keberadaan jati diri sendiri di setiap jenjang
proses kehidupan, maka kita akan menjadi manusia yang lentur.
Dengan begitu, ke mana pun kita bergaul akan mendapat tempat dan selalu
memberikan kehangatan, kedamaian, kegembiraan. Dan kebahagiaan hidup
pun akan muncul secara alami.......
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA