 |
Ilustrasi |
Perselingkuhan selalu terjadi tanpa pertanda dan
berakhir dengan penyeselan, baik dari pihak yang berselingkuh dan
“korban” perselingkuhan. Namun, siapa yang bakal menyangka bahwa pria
yang selalu manis dan memikat di depan kita, ternyata memiliki banyak
pacar di luar sana.
Untuk itu, agar hati Anda tidak lagi kecewa, cobalah kenali si dia
dari awal masa pendekatan. Berikut ini, beberapa ciri dan karakter pria
yang berpotensi besar untuk mengkhianati ketulusan dan cinta setia Anda.
1. Pria bertubuh tinggi
Umumnya pria yang memiliki tubuh tinggi memang terlihat lebih menarik. Namun, berdasarkan studi yang dilakukan situs IllicitEncounters.com
beberapa waktu lalu, pria-pria yang memiliki tinggi badan lebih dari
175 sentimeter dua kali berisiko untuk selingkuh dari pasangannya.
2. Penggemar musik Rock N' Roll
Memang, musik keras seperti rock n' roll mencerminkan sisi maskulinitas seorang pria. Hasil studi lainnya dari IllicitEncounters.com mengungkapkan bahwa 41 persen pria yang berselingkuh adalah mereka yang gemar mendengarkan musik rock n' roll. Lalu, pria yang setia ditemukan lebih senang menikmati musik rap.
3. Pengguna twitter
Media sosial pun dapat membuat hubungan percintaan Anda retak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan University of Missouri, Amerika
Serikat, pria yang gemar "Nge-tweet" berpotensi untuk selingkuh. Semakin
sering seseorang menggunakan Twitter, semakin sering pula hubungan
percintaannya mengalami konflik akibat kehadiran orang ketiga.
4. Pria Perancis
Sejak lama Perancis dikenal dengan negara yang penuh dengan suasana dan
hal-hal berlatarkan sisi romantis. Pria Perancis pun dikenal sebagai
tipe pria yang suka mengumbar keromantisan dalam hubungan. Namun, siapa
sangka pria Perancis juga senang berselingkuh? Produsen sex toy, LELO,
mengadakan survei tentang kebiasan ranjang orang-orang di seluruh dunia.
Hasilnya, 75 persen pria Perancis mengaku berselingkuh.
Penjelasan tersebut di atas bukan patokan baku mengenai karakter pria
yang doyan selingkuh. Namun demikianlah hasil dari studi dan survei
yang dilakukan sejumlah organisasi di beberapa negara. Percaya tidak
percaya, semuanya dikembalikan pada pilihan masing-masing.
Intinya, selama nurani Anda berkata si dia tetap setia, maka percayalah.
Sebab, asumsi boleh saja berkembang tapi nurani jarang berdusta.
[Source : womenshealthmag.com]

Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir
di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan
nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata
“Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang
kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan
khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.
Gus
Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga
yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan
pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H.
Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas
pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat
dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949,
sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denayar Jombang.
Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa
ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a
Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang
merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu
selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti
Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai
Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.
Pada
tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju
Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”.
Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada
saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap
berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan
Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena
ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Gus Dur menempuh ilmu di
Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau
tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur
meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954
pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang
pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta
untuk meneruskan pendidikan.
Setelah lulus dari SMP pada tahun
1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama
Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke
Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan
pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru
yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Bahkan ia juga bekerja
sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.
Pada
tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan
pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir
pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk
mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam.
Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa
sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil
kelas remedial.
Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati
kehidupannya di Mesir. Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa
dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga
terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah
dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas
remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai belajar ilmu
Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode
belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang
diberikan.
Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia.
Namun pada saat ia bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S)
terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang
menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari
upaya tersebut. Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi
terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik
mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.
Akhirnya
ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak
setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G
30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang
pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh
beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan
menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia
dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan
Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi
tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan
pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa
karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas
tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi
ke Indonesia pada tahun 1971.
Di Jakarta, Gus Dur berharap akan
kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia
pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual muslim
progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama
Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut.
Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.
Pada saat itu
pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah
dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren
semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi
tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang
ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar
negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Akhirnya ia
meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan
Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan
reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak
undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan
pergi antara Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih
kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu
sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk
mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan
es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu
Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang
Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat
sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat
dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan
hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur
memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu
permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada
kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta
maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain
itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan
kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI
seperti anak TK.
Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai
Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate
dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan
yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik
lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1)
pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan
mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai
Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun
dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR
secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Sukarnoputri.
Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan
bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini
diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Setelah
berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk
melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat
sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun
2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi
Nasional.
Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi
Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos
pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Pada Agustus
2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama
Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto,
Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2009 Gus Dur
menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden,
ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali
dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia
mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus
Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30
Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul
18.45 WIB.
PENDIDIKAN
- 1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
- 1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
- 1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
- 1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
KARIR
- 1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
- 1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
- 1980-1984 Katib Awwal PBNU
- 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
- 1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
- 1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
- 1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
- 1999-2001 Presiden Republik Indonesia
- 2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
- 2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
- 2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
PENGHARGAAN
- 2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
- 2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
- 2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
- 2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
- 2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
- 2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
- 2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
- 2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
- 2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
- 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
- 2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
- 2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
- 2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
- 2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
- 2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
- 2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia
- 2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
- 2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
- 2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
- 1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
- 1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
- 1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
- 1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
- Doktor Kehormatan:
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan
Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris,
Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Dalam urusan ranjang, warna merah kerap dikaitkan dengan kondisi wanita yang tengah bergairah. Disebut-sebut jika wanita sengaja menggunakan gaun atau pakaian merah, maka para suami sebaiknya bersiap-siap untuk menerima ajakan sang istri bercinta malam ini.
Memang benar adanya jika warna merah berkaitan dengan gairah wanita. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Personality and Psychology Bulletin menemukan bahwa bagi para wanita, berpakaian merah memang menjadi salah satu indikasi meningkatnya gairah seksual mereka. Dalam hubungan dengan pasangan pun, warna merah dikaitkan dengan sifat pasangan yang lebih protektif.
"Secara ilmiah warna merah memang sangat atraktif sehingga ketika wanita menggunakan pakaian ataupun lipstik warna merah, pria cenderung lebih menginginkannya," tutur Sally Agustin PhD, founder Design with Science, dikutip dari Prevention.
Agustin menjelaskan, secara biologis, wajah dan leher yang memerah menjadi salah satu ciri alamiah yang dimiliki manusia ketika mereka bergairah, misalnya ketika sedang berciuman. Bahkan banyak studi menemukan kulit wanita akan lebih memerah ketika mereka sedang berada dalam pertengahan siklusnya, yang berarti mereka berada dalam masa subur.
"Di masa lalu, ketika seseorang melihat sesuatu berwarna merah hal itu berkaitan dengan adanya seseorang yang terluka atau sedang duel sengit dengan musuh. Artinya, ada energi atau keinginan kuat yang disimbolkan oleh merah, termasuk gairah ketika di ranjang," papar Agustin.
Meski demikian, Agustin menekankan bukan berarti ketika wanita tak menggunakan atribut berwarna merah, ia sedang tidak bergairah untuk Anda ajak bercinta. Sebab, pada dasarnya keinginan bercinta pasangan suami istri dipengaruhi oleh faktor fisik dan psikis masing-masing pasangan.
"Penggunaan atribut warna merah hanya salah satu indikasi saja. Meski si dia menggunakan atribut dengan warna pucat sekalipun, bisa saja saat itu ia juga tengah bergairah," tandas Agustin.
 |
Ilustrasi |
Anda yang punya banyak teman pria atau memiliki saudara pria pasti
sudah tidak asing dengan obrolan mereka mengenai bentuk tubuh aduhai
seorang Kim Kardashian. Biasanya para wanita hanya tersenyum
kecut ketika mendengar mereka membahas ukuran pinggang, bagian bokong
yang menggemaskan, dan tentu saja... ukuran payudara yang menurut kaum
Adam paling sensual dan ideal.
Mengapa Wanita Percaya Ini Semua Salah Pria?
Yeah,
buka rahasia lagi, para pria adalah fans besar wanita-wanita bertubuh
aduhai. Para wanita sering merasa bahwa para pria memiliki standar
'ideal' yang hampir seragam atas tubuh seorang wanita. Coba tanyakan
pada pasangan, teman, atau saudara pria Anda, seperti apa sih bentuk
fisik 'ideal' dan 'sempurna' seorang wanita? Kebanyakan akan menjawab
kulit putih, langsing, ukuran dada sekian, rambut hitam legam dan
berbagai standar 'ideal' lainnya.
Silahkan menghela napas
panjang. Apakah ini yang menyebabkan para wanita berlomba-lomba untuk
diet mati-matian dan melakukan senam pengencangan payudara agar bisa
'ideal' seperti impian para pria? Benarkah produk suplemen diet yang
laris manis bagai jamur di musim hujan karena para pria lebih suka
wanita kurus? Sehingga para wanita mengejar penampilan 'ideal' dan
'sempurna' itu? Tim WomanKapanlagi mengintip situs AskMen yang mengungkapkan bahwa semua itu bukan salah pria, tetapi salah wanita lain? HAH? Wanita lain? Benarkah begitu?
Berat Badan dan Daya Tarik Seksual
Para
wanita mulai tergila-gila dengan tubuh yang kurus bak supermodel. Sudah
tidak musim lagi dada besar dan bokong besar, yang sedang nge-trend
saat ini adalah skinny. Jadi jangan heran bila para wanita mati-matian
menghasilkan tubuh sekurus mungkin hingga cukup dalam pakaian ukuran S,
ukuran M adalah momok yang mengerikan. Lalu apa tanggapan pria mengenai
hal ini?
Anda boleh saja tertarik dengan bentuk tubuh skinny ala
supermodel, tetapi para pria lebih suka dengan wanita yang sehat
dibandingkan yang skinny. Tubuh wanita yang sedikit berisi akan membuat
mereka tertarik secara seksual. Mereka ingin tubuh yang sehat, yang
membuat mereka turn on. Sedangkan tubuh wanita yang hanya berbalut kulit dan menonjolkan bentuk tulang rusuk akan membuat mereka turn off seketika.
Apakah
ada model wanita untuk majalah pria dewasa dengan tulang pinggul atau
tulang rusuk yang menonjol? Tidak ada. Para model itu bertubuh sintal
dengan bentuk pantat yang ranum dan pinggang yang tidak akan cukup bila
memakai celana ukuran S. Bagi para pria, wanita seperti itulah yang
memiliki daya tarik seksual yang menggemaskan.
Salah Wanita Lain
Bisa
jadi pendapat para pria ini benar, para wanita berlomba-lomba tampil
melebihi kapasitas 'ideal' mereka karena tergoda oleh wanita lain. Anda
akan tertarik dengan potongan rambut baru rekan kerja Anda yang membuat
rekan kerja Anda semakin cantik. Anda akan tergoda untuk mewarnai rambut
dengan warna burgundy karena teman wanita Anda tampak cantik dengan
warna rambut itu.
Dan Anda akan sangat tergoda dengan para model
iklan super langsing yang mengiklankan berbagai suplemen peluntur
lemak. Anda juga akan mencoba untuk membeli sebuah alat olahraga yang
diiklankan oleh aktris yang memiliki tubuh aduhai. Anda berlomba dengan
wanita lain agar tubuh dan penampilan Anda sebaik mereka, jika perlu
lebih oke dari mereka. Iya atau tidak?
Tanpa Anda sadari,
sebenarnya para wanita terjebak oleh lingkaran harus tampil 'ideal'
akibat wanita lain. Entah itu melalui iklan gencar sebuah produk
diet/penurunan berat badan, majalah fashion, artis wanita yang tubuhnya
seperti lolipop (tubuh yang super kurus membuat kepala mereka tampak
besar) dan lain sebagainya.
Terima Tubuh Anda
Susah
menjadi wanita, harus selalu mengikuti standar kecantikan yang berbeda
setiap zaman. Beberapa puluh tahun lalu, tubuh kurus menjadi bahan
ejekan karena pada saat itu sedang trend tubuh berisi dengan pinggang
ceking yang mirip jam pasir, sekarang justru tubuh kurus yang
dipuja-puja. Jadi tidak heran jika para wanita mengejarnya, mulai artis
Hollywood hingga ibu rumah tangga.
Ingat dengan Nicole Richie?
Artis berambut pirang tersebut pernah mendapat kritik tajam atas
usahanya tampil kurus. Usaha yang berlebihan hingga pada akhirnya
membuat tubuh Nicole tampak mengerikan. Coba tanyakan pada pria yang
Anda kenal, mana yang lebih oke. Saat Nicole bertubuh padat berisi atau
pada saat tubuhnya kurus kering? Mereka pasti akan menjawab yang padat
berisi.
So? Terima tubuh Anda dan rawat dengan baik. Tidak perlu
mengejar tubuh super kurus bila itu hanya menjadi rasa bangga untuk
memenangkan persaingan dengan tubuh wanita lain yang jauh lebih kurus
daripada Anda. Toh pada pria tidak terlalu menyukai tubuh super kurus
seperti impian Anda. Asalkan masih dalam angka berat badan ideal yang
sesuai dengan standar kesehatan, it's totally fine, Ladies. FINE.
[Source : vemale.com]
 |
Wanita bertubuh sintal |
Sebuah penelitian merilis informasi bahwa pada dasarnya pria dan
wanita senang memandangi diri sendiri. Dibandingkan wajah, menurut
penelitian, sejumlah pria dan wanita lebih suka memperhatikan bentuk
tubuh.
Temuan ini diperoleh dari mempelajari lebih kurang 65 orang pria dan
wanita. Mereka diminta untuk mengenakan semacam alat pelacak untuk
mendeteksi pandangan mata. Kemudian, seluruh responden diwajibkan
melihat foto 10 orang wanita yang berbusana kasual, jeans dan tanktop.
Seluruh foto memperlihatkan wanita dengan bentuk tubuh yang
berbeda-beda, mulai dari tipe tubuh jam pasir (payudara besar pinggang
kecil), tubuh normal, dan tubuh lurus (payudara kecil dan pinggang
besar). Kemudian, responden pun dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama diminta menilai penampilan dengan skala 1 sampai 7.
Lalu, kelompok kedua diminta menilai kepribadian wanita-wanita dalam
foto tersebut. Waktu yang diberikan untuk menilai hanya lima detik saja.
Hasilnya, pada eksperimen pertama ditemukan bahwa secara otomatis
orang akan memperhatikan wajah wanita dan beralih ke arah payudara lalu
pinggang. Pria disimpulkan lebih cepat mengalihkan pandangan dari wajah
wanita ke payudaranya.
Selanjutnnya, pada eksperimen berikut di mana penilaian fokus pada
kepribadian wanita dalam foto-foto tersebut, ternyata seluruh responden
pria menilai wanita bertubuh berisi dan berlekuk memiliki kepribadian
diri yang lebih baik dan hangat.
"Wanita yang lebih menarik
dianggap memiliki kepribadian positif oleh pria," ujar peneliti Sarah
Gervais, asisten profesor psikologi di University of Nebraska-Lincoln.
Penelitian ini, menurut Gervais, bertujuan untuk mengetahui penilaian obyektif berdasarkan penampilan seseorang.
[Source : Healthday News]
 |
Ilustrasi |
Apa biasanya komentar kita, saat menghadapi deadlock dalam meeting,
di mana beda pendapat tidak menemukan jalan tengah? Apa respon kita
saat pertumbuhan bisnis tidak menggembirakan, sehingga perusahaan harus
melakukan efisiensi biaya di sana-sini, termasuk memotong bonus atau
fasilitas untuk karyawan? Apa yang kita pikirkan saat klien yang dulunya
sangat loyal, kemudian berpaling menggunakan jasa kompetitor?
Kesemuanya ini sering membuat mood
kita seolah diselimuti awan kelabu. Sering dengan mudah kita langsung
merasa terpuruk, berkeluh-kesah, mencari-cari kesalahan. Situasi ini
juga kerap membuat kita merasa mentok atau no way out, bukan?
Kadang,
kita tidak bisa menyalahkan individu, bila memang menyaksikan situasi
yang buruk. Tetapi, kita memang perlu mawas diri dan bertanya, apakah
sikap pesimis, bahkan sinis, ini akan berguna? Bukankah pemikiran adalah
awal dari tindakan kita? Begitu kita memulai sesuatu dengan sikap
negatif maka kita tidak mempunyai kesempatan untuk memulai sesuatu yang
baik.
Dalam bisnis, kejutan seperti mitra bisnis yang tiba-tiba
berpaling dan ingkar janji, ketidakberuntungan ataupun keputusan yang
salah dan menyebabkan kerugian bisa terjadi, atau malah kadang datang
bertubi-tubi. Bayangkan, apa jadinya bila kita sudah kehilangan
optimisme? Tidak adanya optimisme, tanpa disadari bisa menyebabkan
ekonomi tergerogoti karena tidak tumbuhnya bisnis baru secara
proporsional.
Sikap pesimis juga menyebabkan kita tidak lagi
antusias berinvestasi, bahkan mematikan niat untuk berburu orang-orang
berbakat. Dan lucunya, dalam situasi seperti itu, banyak ide baru yang
direspons secara getir, penuh kesinisan. Bukan saja orang menekankan
sikap konservatif, atau “buy in” ide baru lemah, tetapi
penolakan tersebut diwarnai agresi. Komentar: “Ah, basi!”, jadi lebih
sering kita dengar, misalnya saat ada rekan kerja mengeluarkan ide yang
terkesan "biasa-biasa" saja.
Jadi, bisa dikatakan bahwa musuh
optimisme bukanlah sekadar pesimisme, tetapi juga kesinisan. Jadi dalam
setiap ide atau situasi, yang muncul secara default di dalam
persepsi kita adalah pandangan negatif, yang bahkan dibumbui dengan
memori-memori lama tentang keburukan situasi. Bukankah ini bisa sangat
menghambat kemajuan kita?
Seorang tokoh periklanan, Jay Chiat,
sering mengatakan bahwa ketrampilan hidup yang perlu senantiasa
dikembangkan adalah untuk menghadapi ancaman kekalahan. Beliau
mengatakan bahwa optimisme adalah satu-satunya senjata menghadapi
kesulitan. Itu sebabnya, kita perlu berlatih mental secara rutin untuk
melakukan berbagai hal sebaik-baiknya, walau dengan sumberdaya
terbatas.
Kita bisa melihat para entrepreneur sukses
jarang terdengar mengkomplen hal-hal yang mereka tidak punya, tetapi
justru menghargai apa yang mereka miliki dan apa hasil pemanfaatannya.
Dengan begitu kita terbiasa berada di situasi bawah tekanan, bukan
mengeluh, merengek, tetapi siap untuk memunculkan “call for action”.
Disiplin berpikir sebagai dasar optimisme
Optimisme adalah keyakinan bahwa hampir semua masalah dapat diselesaikan dengan kerja keras dan mindset
yang tepat. Meski terdengar sederhana, tapi kita tahu betul betapa ini
tidak mudah, apalagi karena memang berita-berita buruk datang silih
berganti dan lingkungan sekitar kita pun seringkali menyuburkan sikap
pesimisme. Itu sebabnya, kita kerap kagum pada orang yang selalu bisa
berpikir optimis, padahal kita tahu sendiri bahwa nasibnya tidak
seberuntung orang lain.
Sebetulnya, tidak sedikit riset yang
menunjukkan bahwa orang yang berpikir positif mempunyai derajat
kesuksesan yang lebih tinggi di pekerjaan, sekolah, bahkan dalam
hidupnya. Hasil penelitian pun mengatakan bahwa optimisme ini
ditularkan. Orangtua yang optimis, biasanya membesarkan putra-putri yang
optimis pula. Jadi, apa yang perlu dilakukan agar kita bisa senantiasa
bersikap optimis?
Pertama-tama, kita perlu memperhatikan apakah perbendaharaan kata-kata kita lebih berisi kata-kata magic
yang mempengaruhi positifnya pikiran kita, atau sebaliknya,
perbendaharaan kata kita justru didominasi kata-kata yang “menjatuhkan”,
seperti,”mana mungkin?”, "apa iya?”, atau “ salah siapa?”.
Kita
bisa segera melihat bahwa kata-kata negatif yang ada di pikiran atau
kita ucapkan, akan membawa pikiran kita ke dalam pembicaraan defensif
atau tidak produktif. Andaikan saja kumpulan kata-kata kita selalu
menantang kita untuk melanjutkan pemikiran kita, seperti mempertanyakan
detail, memikirkan kemungkinan pelaksanaan tindakan, membayangkan
berbagai kemungkinan untuk berpikir kreatif dan menyelesaikan masalah,
maka tanpa disadari mood kita akan terangkat dan kita pun akan terpengaruh dengan pikiran kita sendiri, terbawa kepada suasana pencarian solusi.
Optimisme
sebetulnya juga perlu dibarengi dengan kegiatan berfikir eksploratif
yang akhirnya memungkinkan kita untuk menembak jalan keluar yang lebih
jitu.
Aturan 24x3
Kita tentu pernah melihat
orang yang memotong pendapat orang lain dan seketika menilai ide orang
buruk, padahal orang tersebut belum selesai menyampaikan pendapatnya.
Tidakkah kita kadang berpikir bahwa komentar negatif itu terlalu dini?
Pernahkah kita buang muka saat menemui seseorang yang tidak kita sukai,
pada detik-detik pertama? Bukankah bila kita pikirkan lebih lanjut, kita
sudah menyia-nyiakan kesempatan positif untuk membina hubungan atau
paling tidak menerima informasi?
Berarti, hal yang perlu kita
latih juga adalah menahan respon, untuk tidak segera mengomentari,
menilai, memutuskan. Sebaliknya, kita perlu mengendapkan lebih dulu
informasi yang kita terima untuk memberi waktu kita melihat sisi positif
dari setiap situasi.
Seorang pakar mengemukakan kita “Rule
3x24”, untuk melatih kita berpikir dan bersikap optimis. Sebelum kita
mengomentari situasi yang kita rasa buruk, maka kita perlu menunggu 24
detik sebelum memberi respon. Mengapa? Karena, bila tidak menunggu 24
detik, kita tidak sempat mencerna apa yang kita tangkap. Ini sebetulnya
bukan hal istimewa, namun dasar dari ketrampilan mendengar.
Selanjutnya, kita perlu menggunakan 24 menit untuk memikirkan situasi atau ide tersebut, mengelaborasi dan meng-exercise-nya.
Setelah kita olah, bila kita ingin menyampaikan kritik ataupun
ketidaksetujuan, alangkah baiknya kita "inapkan" dulu sanggahan kita
semalaman, sehingga kita bisa mematangkan ketidaksetujuan kita dalam 24
jam.
Rumus 3 x 24 yang sederhana ini, sebetulnya adalah salah
satu cara untuk mengatur pikiran, agar tetap jernih dan obyektif. Kita
perlu berlatih dan mendisiplinkan diri untuk bersikap seperti ini,
apalagi di zaman komunikasi instan, melalui media sosial, yang
sangat-sangat real time ini. Ini mungkin menyebabkan kita seolah-olah lamban, tetapi bukan konvensional dan sinis, tetapi justru obyektif.