Share Info

26 July 2014

Mangkuk Malapetaka Hiu

Ilustrasi
 “Taplak meja yang terlihat bersih di akhir jamuan makan China menandakan tidak cukup hidangan untuk semua tamu,” ujar Tjong Tjay atau Benny Oei, putra bungsu pengusaha gula Oei Tiong Ham kepada wartawan-cum-penulis James Michener. 

Tulisan Michener, “Chinese Success Story”, yang dimuat majalah Life, 31 Desember 1951, melukiskan kegembiraan Tjong Tjay mentraktir teman-temannya bersantap di restoran Kam Leng di Glodok. Dia biasa memesan tujuh hingga delapan menu umum dengan tambahan menu istimewa seperti sup sirip hiu. “Tak ada yang lebih menyenangkan hati Tjong Tjay selain melihat teman-temannya melahap dan menyendok sajian dengan tumpahan di sana-sini,” tulis Michener.

Bagi komunitas China, hidangan sirip hiu adalah wujud penghormatan tuan rumah kepada para tamu. Keberadaan sirip hiu sebagai jamuan istimewa dipercaya telah berlangsung sejak masa Dinasti Sung. Artikel “The History of Imperial Chinese Cuisines” dalam http://www.china.org.cn/english/imperial/25995.ht menyebutkan, sirip hiu dan sarang burung walet tersaji dalam perjamuan mewah kekaisaran setelah perjalanan besar armada Cheng Ho ke Asia Tenggara pada masa Dinasti Ming. Ia terus menjadi menu kekaisaran hingga masa Dinasti Qing.

Hubungan dagang dengan bangsa lain, termasuk Eropa, memperkuat tradisi kuliner itu. Sirip hiu menjadi komoditas yang mempererat relasi perdagangan dengan China. Kongsi Dagang Belanda (VOC) mengirimnya dalam rangka perdagangan teh secara langsung dengan China sejak abad ke-18. “Selain membayar dengan perak batangan, pejabat VOC di Batavia mengirim benda-benda mahal yang memiliki pasaran di China untuk kekaisaran seperti trepang, sirip hiu dari Hindia Timur, debu mutiara dari Ceylon, dan tekstil celup dari India,” tulis Liu Yong dalam The Dutch East Indie Company Tea Trade with China, 1757-1781.

Pemerintahan komunis pada pertengahan 1900-an, yang menganggap sirip hiu sebagai bagian gaya hidup mewah, sempat menekan konsumsinya di China. Namun anggapan ini tak berlaku bagi para imigran China di berbagai belahan dunia. Mereka membawa selera “imperial” sirip hiu ke tanah baru. Kritikus makanan Amerika pada 1848, Samuel Williams, seperti dikutip Soup Through the Ages karya Victoria R. Rumble, mencatat hiu dan pari dalam daftar bahan makanan komunitas imigran China di Amerika.

Gelombang kedatangan imigran China ke Singapura, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, menjadikan koloni Inggris tersebut sebagai pasar terbesar sirip hiu di Asia Tenggara awal 1900-an. Terbitan berkala Algemeen Landbouwweekblad van Nederlandsch-Indie pada 1930 mencatat ekspedisi kapal uap penangkap hiu dengan sponsor Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran, ke Pulau Lingga, Riau. Ekspedisi ini bertujuan mengeksplorasi potensi bisnis dan kualitas sirip, kulit, dan daging hiu di perairan Hindia Belanda. “Kulit hiu akan dikirim ke Eropa, sementara daging (kering dan asin) dan siripnya ke Singapura,” tulis Manon Osseweijer, “The Toothy Tale”, dalam Peter Boomgaard, A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories.

Potensi bisnis hiu, lanjut Osseweijer, membuat penasehat perikanan Belanda, Johan Poortman, menambahkan penangkapan hiu dalam aspek pengamatan untuk pengembangan kerangka kerja perikanan Hindia Belanda. 

Singapura terus menjadi pasar utama ekspor sirip hiu hingga kemunculan Hongkong di pertengahan 1980-an. Dalam waktu singkat, Hongkong meroketkan volume ekspor dan harga sirip hiu di banyak negara, termasuk Indonesia. Debra A. Rose dalam An Overview of World Trade in Sharks and Other Cartilaginous Fishes mencatat lonjakan volume ekspor sirip hiu dari Indonesia ke berbagai negara, termasuk Hongkong: dari 429 ton pada 1986 menjadi 547 ton pada 1987, dengan total nilai dari sekitar 1 juta menjadi lebih dari 2.6 juta USD.

Lonjakan keuntungan bisnis sirip hiu juga mempengaruhi pola hidup nelayan. Menurut penelitian Natasha Stacey dalam Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone, perpindahan nelayan Suku Bajo ke Pepela, Rote, antara 1989-1994, terdorong oleh perkembangan bisnis sirip hiu. Kehadiran perwakilan bisnis Hongkong dan Ujung Pandang di Pepela, yang bekerjasama dengan pengusaha lokal untuk penyewaan dan kredit perahu serta modal perlengkapan, memberi harapan perbaikan ekonomi sehingga sekelompok nelayan Bajo memutuskan pindah tempat.

Eksploitasi penangkapan hiu terjadi hampir di seluruh perairan di dunia. Situs CNN.com edisi 1 Februari 2011 memperkirakan 73 juta hiu tewas diburu setiap tahunnya. Artikel yang sama menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor hiu terbesar, bersama India, Spanyol, dan Taiwan.

Praktik “penyiripan” dalam penangkapan hiu menyulut kemarahan internasional. Nelayan kerap memotong sirip hiu dalam keadaan hidup lalu melempar tubuh sekaratnya ke laut. Target memenuhi muatan kapal kerap mendorong nelayan melakukan metode “penyiripan”. 

Saat ini, jumlah spesies hiu dengan status terancam punah dialami lebih dari 200 dari sekitar 350 spesies yang terdata. Padahal, seperti pohon oak, gajah, dan manusia, hiu memiliki fitur K-seleksi sejarah hidup (strategi reproduksi dan kelangsungan hidup), dengan ciri antara lain: puncak kematangan seksual yang lama, jumlah keturunan yang terbatas, dan usia kehidupan yang panjang. Karenanya, regenerasi hiu memerlukan waktu. Eksploitasi, penangkapan, dan konsumsi terus-menerus akan menutup kesempatan hiu beregenerasi, lalu mengakhiri eksistensinya.

Kepunahan hiu, yang merupakan predator teratas jaringan makanan, berdampak terhadap keberlangsungan hidup satwa lainnya. Penelitian Stevens, J.D et.al. dalam “The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystems” yang dimuat di ICES Journal of Marine Science (2000) memprediksi beberapa skenario akibat kepunahan spesies hiu tertentu. Hilangnya spesies hiu macan (Galeocerdo cuvier) dalam perairan karang terumbu di Hawaii, misalnya, diperkirakan membuat populasi burung laut meningkat, yang kemudian menyebabkan populasi tuna berkurang, dan akibatnya menambah populasi ikan-ikan kecil di dasar laut.

Ironisnya, sirip hiu masih tersaji sebagai menu istimewa hingga abad ke-21. Walaupun mitos seputar kandungan gizi sirip hiu berkembang, kenaikan permintaan pasar lebih disebabkan anggapan dan nilai budayanya sebagai makanan tradisional berkelas yang mencerminkan penghormatan bagi tamu. Harga semangkuk sup sirip hiu di beberapa restoran bergengsi di Hongkong mencapai 100 USD. Sebuah kemenangan bagi hiu terjadi pada Juni 2005 ketika organisasi-organisasi pelindung satwa berhasil mendesak Disneyland Hongkong menghapus sup sirip hiu dari paket menu jamuan makan pernikahan beberapa bulan sebelum pembukaannya.

Perubahan sikap juga dilakukan Fuchsia Dunlop, seorang chef Inggris dengan spesialisasi masakan China, satu-satunya orang Eropa yang mengikuti pendidikan di Sichuan Institute of Higher Cuisine di Chengdu, Sichuan. Dia penulis beberapa buku mengenai masakan China, termasuk memoar Shark′s Fin and Sichuan Pepper: A Sweet-Sour Memoir of Eating in China. Dalam artikelnya di BBC online pada 21 Januari 2010, Dunlop membagikan pengalaman pertamanya menghindari sirip hiu dalam sebuah jamuan makan.

Ketika penyelenggara menegurnya karena tak menyantap sirip hiu, Dunlop sempat resah. Dia tak ingin tuan rumah merasa tersinggung karena dia menolak hidangan yang melambangkan rasa hormat mereka.

“Namun saya sadar, meski menolak sirip hiu mungkin sebuah usaha sia-sia, setidaknya saya dapat mulai berbincang dengan beberapa chef China mengenai batasan moral dan kesadaran lingkungan dalam mengkonsumsi. Saya memutuskan untuk menyampaikan apa yang saya ketahui mengenai sirip hiu dan kegelisahan saya menyantap spesies yang akan punah. Kemudian, terjadi momen senyap penuh kekakuan. Mereka tak pernah mendengar pernyataan seperti ini sebelumnya...”

Di luar dugaan, penyelenggara jamuan memuji kejujuran Dunlop dan mengajaknya berdiskusi lebih lanjut. “Bicara mungkin hanyalah kata-kata, namun bagaimana kita dapat melakukan sesuatu jika tak mulai berbincang bersama?” ujar Dunlop di akhir artikel.

[Source : historia.co.id]

Sejarah Tempe

Tempe
Menelusuri sejarah tempe tak bisa lepas dari bahan bakunya, kedelai. Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Mary Astuti dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis kadêlê dalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau 13). Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga dijumpai dalam Serat Centhini, yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814.


Pada jilid kedua Serat Centhini digambarkan perjalanan Cebolang dari Purbalingga menuju Mataram, kemudian singgah di rumah Ki Amongtrustha, yang menjamu makan malam dengan lauk bubuk dhele. Di Mataram, Cebolang diberitahu bahwa sesaji dalam kacar-kucur, yakni upacara persiapan menikahkan anak, terdapat kacang kawak (lama) dan kedelai kawak, beras kuning, bunga, dan uang logam.


Menurut naturalis Jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelie plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadêlê (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau (Tiongkok). Hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe. Tapi, mengolah biji kedelai hitam tersebut menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao)/to, produk olahannya dinamai dengan awalan tau: tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci), dan lain-lain.


Berdasarkan penelitian genetik, kedelai berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya kedelai hitam atau kuning. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000, kacang kedelai sudah sejak 5.000 tahun lalu dikenal di Tiongkok.


Namun, Mary Astuti mempertanyakannya: jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa. Musafir Tiongkok, Ma Huan yang mengunjungi Majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di Majapahit terdapat koro podang berwarna kuning, tanpa menjelaskan kegunaan kacang tersebut. Dia tidak membandikan kacang itu dengan kacang yang ada di negerinya, seperti halnya membandingkan suhu udara di Majapahit dengan di Tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang ditemui Ma Huan belum ada di negerinya.


“Diduga bahwa kedelai hitam sudah ditanam di Jawa sebelum China datang ke Tanah Jawa,” tulis Astuti. “Menurut anggapan orang Jawa zaman dulu kata dêlê berarti hitam. Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil.”

Penemuan tempe berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-l7. “Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu,” tulis Ong.


“Tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Kemudian jadi tempe kedelai,” kata wartawan spesialis sejarah pangan, Andreas Maryoto. “Ini saya kaitkan karena tempe yang lain berasal dari limbah: tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja,” sambungnya.


Ong kemudian mengaitkan perkembangan tempe dengan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa. Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput luas bagi hidupnya. Akibatnya, seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam, bebek, dan sebagainya.


Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan Jawa. Pekarangan menyediakan bahan baku makanan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “Baru dalam abad ke-l9, menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga Pulau Jawa menjadi wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.


Di sisi lain, lanjut Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan  membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk.


“Bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe pun anonim,” lanjutnya.


Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih. Kata tempe juga ditemukan dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempeasem sambel lethokan …” sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut.  Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…


“Tempe berasal dari kata Nusantara tape, yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.


Menurut Ong, dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (l922), tempe disebut sebagai “kue” yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel).

Disebut makanan kerakyatan, kata Maryoto, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “Karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi,” ujar Maryoto. “Sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika gairah kuliner meningkat, sehingga tempe manjadi makanan kita semua.”

Sejarah Tahu, Tahu Sejarah

ORANG-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan membawa keterampilan kulinernya. Salah satu makanan yang paling awal diperkenalkan adalah tahu.

Tahu adalah kuliner tertua yang diperkenalkan orang Tionghoa di Nusantara. Ia menjadi penyelamat masyarakat Jawa di masa krisis asupan gizi.
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada abad ke-10 orang-orang Tionghoa telah menyajikan tahu di Nusantara, meskipun terbatas di kalangan elite. “Jadi tahu lebih tua daripada tempe dilihat dari masa mulai produksinya,” kata Rizal.

Menurut Suryatini N. Ganie dalam Dapur Naga di Indonesia, tahu mempunyai sejarah panjang di Tiongkok, tempat asalnya sejak 3.000 tahun lalu. Teknologi pembuatan tahu secara cepat menyebar ke Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Tetapi, kapan tahu mulai hadir di Nusantara tidak dapat ditentukan waktunya dengan tepat. Namun, orang Kediri mengklaim sebagai kota pertama di Nusantara yang mengenal tahu, yang dibawa tentara Kubilai Khan pada tahun 1292.

“Saat mengunjungi Kediri,” tulis Suryatini, “kami mendapati tempat berlabuhnya jung-jung Mongol di kota itu sampai hari ini masih disebut dengan Jung Biru. Armada ini mempunyai jung-jung khusus untuk mengurus makanan tentara, termasuk satu yang khusus untuk menyimpan kacang kedelai dan membuat tahu.”

Kata tahu sendiri, menurut Hieronymus Budi Santoso, berasal dari bahasa Tionghoa, yakni: tao-hu atau teu-hu. Suku kata tao/teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur.

“Dengan demikian secara harfiah, tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur,” tulis Hieronymus dalam Teknologi Tepat Guna Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai.

Pada abad ke-19, orang-orang Jawa dilanda krisis gizi yang luar biasa akibat penerapan sistem cultuurstelsel (Tanam Paksa). Hasil bumi dikuras untuk kepentingan kolonial sampai mereka sendiri kesulitan untuk makan. Saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif.

“Menurut sejarawan Onghokham,” ungkap Rizal, “tahu bersama tempe, menjadi penyelamat orang-orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.”

Sampai sekarang, tahu menjadi makanan penting bagi orang Indonesia. Cara penyajiannnya di tiap wilayah pun bervariasi. Meski begitu, ia tetap menjadi pangan yang populer dan dapat dinikmati kapan saja.

Mengunyah Sejarah Ketupat

Ketupat hadir bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Ia punya makna yang dalam dari sekadar sebuah makanan.
Lebaran belum lengkap tanpa makan ketupat. Saat lebaran tiba, ketupat seolah menjadi menu wajib yang mesti tersedia di meja makan. Namun bagaimana asal-asul sejarah ketupat? Mengulas sejarah ketupat tidaklah semudah mengunyah ketupat itu sendiri.

Ketupat sudah lama dikenal di sejumlah daerah di Indonesia. Ini terlihat dari sejumlah makanan khas yang menggunakan ketupat sebagai pelengkap hidangan. Ada kupat tahu (Sunda), kupat glabet (kota Tegal), coto Makassar, ketupat sayur (Padang), laksa (kota Cibinong), doclang (kota Cirebon), juga gado-gado dan sate ayam. Tapi tetap saja, tanpa ketupat di hari lebaran, terasa kurang afdol.
Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, yang membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan dukungan Walisongo (sembilan wali). Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, tempat unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Di sinilah pentingnya akulturasi. Raden Mas Sahid, anggota Walisongo yang sohor dengan panggilan Sunan Kalijaga, lalu memperkenalkan dan memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, dalam perayaan lebaran ketupat, perayaan yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri dan enam hari berpuasa Syawal.

Lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Dalam pengubahsuaian itu terjadi desakralisasi dan demitologisasi. Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.

Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Beberapa keraton di Indonesia, seperti Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap melestarikan tradisi ini. Sebagai contoh upacara slametan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Dalam upacara ritual semacam itu, ketupat menjadi bagian dari sesaji –hal sama juga terjadi dalam upacara adat di Bali. Di masyarakat Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat atau penolak bala.

Tak heran jika kita melihat sejumlah tradisi di sejumlah daerah, yang berkaitan dengan agama Islam, Hindu, maupun kepercayaan lokal. Di sejumlah daerah ada tradisi unik yang dinamakan perang ketupat. Di Pulau Bangka perang ketupat dilakukan setiap memasuki Tahun Baru Islam (1 Muharam). Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen dan menandai saat mulai menggarap sawah. Tradisi itu masih bertahan hingga kini.

Tradisi lebaran ketupat, yang notabene berasal dari wilayah pesisir utara Jawa, tempat awal penyebaran Islam, tak kuat pengaruhnya di pedalaman. Hanya sejumlah wilayah pesisir utara yang hingga kini menganggap lebaran ketupat, biasa disebut “hari raya kecil”, sebagai lebaran sebenarnya seperti Kudus, Pati, dan Rembang. Secara esensial, tak ada yang membedakan antara lebaran ketupat dengan lebaran pada hari raya Idul Fitri. Keduanya punya makna yang sama.

Menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining nur” yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Dengan demikian bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama: timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat).

Rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat Jawa saat itu. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial. Tapi ceritanya jadi lain ketika terjadi krisis di saat lebaran; jurang sosial pun jadi jelas. Misalnya seperti dikisahkan Rosihan Anwar.
Dalam Sukarno, Tentara, PKI, Rosihan menulis catatan harian bagaimana lebaran pada 1961. Ketika berangkat salat di Kebayoran Baru, di jalan dia melihat banyak becak yang didandani dengan selongsong ketupat. Roshan berpikir para abang becak sedang merayakan lebaran. Tapi seorang sopir jip bercerita bahwa para abang becak mendapatkan selongsong itu dari pasar-pasar yang membuangnya karena tak laku. Beras, yang menjadi isi ketupat, tak terbeli oleh rakyat karena harganya melambung.

Beruntunglah Anda kalau bisa menikmati lezatnya ketupat. Kini, ketupat juga tak harus membuatnya dari janur. Anda bisa makan ketupat tanpa repot-repot menganyam daun janur. Selongsong ketupat bisa diganti dengan bungkus plastik atau tabung kaleng khusus siap beli. Selain harganya lebih murah, plastik lebih mudah didapatkan dan praktis. Tapi sebagian orang tetap menggunakan janur karena citarasanya yang khas dan lebih alami.

14 July 2014

Resep Bahagia dari Berbagai Negara

Setiap negara ternyata mempunyai pola kebiasaan, cara sederhana yang dilakukan masyarakat di dalamnya untuk mendapatkan kebahagiaan. Berikut kebiasaan baik yang bisa kita tiru dari beberapa negara ini.

Luangkan waktu sejenak menikmati indahnya alam seperti bintang, bunga atau awan akan membuat Anda merasa lebih bahagia.
Italia: hangout bareng sahabat
Negara Italia terkenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sangat senang berinteraksi dengan sesama, terutama tetangga. Bila masih bisa bertatap muka langsung atau hangout di kafe atau bar, sebisa mungkin mereka menghindari curhat lewat gadget lho. Inilah yang membuat kadar stres dan galau penduduk Italia terbilang rendah. Nah, kalau sedang stres atau galau, segera buat janji dengan sahabat untuk hangout atau olahraga bareng. Ampuh menghubungkan kita dalam dunia nyata dan membuat pikiran lebih terbuka.

Finland: berbagi dengan sesama
Valentine tak melulu harus dirayakan dengan kekasih. Seperti yang dilakukan penduduk Finland, mereka merayakannya bersama dengan anak-anak kecil yang kurang beruntung serta berbagi dengan orang tua di panti jompo. Berbagi dengan sesama akan meningkatkan kebahagiaan kita tiga kali lipat. Di samping bisa lebih mensyukuri apa yang telah kita punya. Cocok untuk mengurangi hobi mengeluh.

Sahel, Africa: bebas berekspresi
Para perempuan di daerah Sahel, Afrika, sangat senang tampil dengan tema unik. Kebebasan berekspresi inilah yang akhirnya membuat mereka jauh dari rasa tertekan. Kita juga bisa mencontek gaya mereka. Bila biasanya kita berdandan cantik ke kantor, yuk ajak sahabat untuk mengadakan pajamas party atau bikin kontes kecil seru dengan peragaan busana yang “ajaib”. Jangan lupa siapkan hadiah menarik. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh perempuan Sahel ini juga membuat pertemanan mereka semakin erat.

Mongolia: luangkan waktu untuk keluarga
Warga Mongol mendedikasikan satu bulan penuh yang disebut White Month untuk para orang tua, seperti nenek, kakek, hingga buyut mereka. Bagi mereka, keluarga memegang peran penting dalam kehidupan. Sebab, hubungan pertemanan atau cinta bisa saja putus, tetapi keluarga akan selalu ada. Jadi, sudah saatnya kita luangkan waktu untuk menciptakan waktu berkualitas seperti liburan bersama ke tempat-tempat indah. Rasa bahagia akan berlipat ganda jika kita menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kita sayangi.

Jepang: keluar dari zona nyaman
Jepang memiliki selera musik, pakaian, hingga makanan yang terbilang unik. Khususnya pagelaran Harajuku Style yang rutin dilakukan oleh para anak muda di sana. Keluar dari “zona nyaman” membuat mereka lebih kreatif. Sedang kreativitas yang tinggi dinilai bisa membuat kita lebih mudah mengatasi persoalan-persoalan dalam hidup. Selain itu, mencoba hal-hal baru bisa membuat kita jauh dari rasa bosan. Selalu menghabiskan weekend nonton di bioskop? Cari tempat yang bisa bungee jumping!

Vanuatu: melawan ketakutan
Penduduk di Pulau Pentakosta, Vanuatu, mengajarkan anak mereka untuk berani melawan rasa takut. Sebab ketakutan bukan untuk dipikirkan, melainkan untuk dihadapi. Salah satu caranya ialah realisasikan keberanian dengan melawan semua hal-hal negatif yang datang dari pikiran. Misalnya, kalau kita tidak berani melihat mata gebetan ketika sedang berbicara, melakukan sambutan acara di depan tamu-tamu penting, kita harus coba melawan “ketakutan” ini dengan selalu yakin bahwa kita bisa! Lakukan persiapan yang matang, berdoa, dan lakukan semuanya dengan senyum.

India: yoga dan meditasi
Yoga berasal dari negara ini dan menjadi salah satu resep untuk hidup lebih sehat dan menjernihkan pikiran. Selain mengeluarkan racun dalam tubuh, meluangkan waktu dua jam untuk olahraga sekaligus meditasi bisa membuat pikiran jadi lebih fokus. Dengan begitu kita akan lebih mudah menyelesaikan masalah dan hidup jadi lebih simpel deh. Kita juga bisa melakukan “meditasi” kecil seperti mematikan gadget dan alat komunikasi lain minimal lima jam (pagi hingga siang hari) dua kali dalam satu minggu.

Paris: tampil cantik
Semua pasti menyadari bahwa orang-orang di Paris sangat stylish – bahkan untuk ke toko bakery terdekat saja mereka memakai lipstick berwarna cherry. Ya, tampil cantik di setiap kesempatan membuat mereka sangat percaya diri. Nah, bila butuh asupan pede saat masuk ke lingkungan baru maksimalkan penampilan kita namun tetap mengikuti aturan yang ada. Bangun lah satu jam lebih pagi dari biasanya sehingga kita bisa rapikan dandanan sebelum masuk kantor.

Switzerland: kembali ke alam
Walau cuaca terbilang ekstrem, penduduk Switzerland malah memanfaatkan untuk bersenang-senang sambil main ski. Nah, kalau belum punya waktu untuk libur langsung ke sana, kita bisa lho main ice skating di mal yang menyediakan sarananya. Atau bisa merasakan sensasi lain misalnya naik gunung Bromo untuk melihat sunrise. Menghirup udara segar di alam terbuka bisa membuat kita lebih dekat dengan alam dan mengurangi stres karena kebisingan kota.

London: wisata lokal
Banyak pesta kebudayaan, simbol negara, hingga tempat bersejarah dari kota keren di Inggris Raya ini. Ya, penduduk di sana sangat menghargai dan bangga akan kekayaan lokal yang mereka miliki. Kita juga bisa meningkatkan rasa memiliki terhadap tanah air dengan traveling keliling Indonesia atau berkunjung ke museum-museum bersejarah, sekaligus mencicipi kuliner tiap daerah. Dengan bangga dengan negara sendiri, maka kita juga akan lebih bahagia sebagai penduduk asli Indonesia.

Bahagia itu sederhana!


[Source : chicmagz.com]

"Kecanduan" Jatuh Cinta?

Jatuh cinta adalah hal luar biasa dan mengharukan. Tak peduli sudah berapa kali Anda merasakannya, jatuh cinta selalu menghadirkan pengalaman yang berbeda. Tak heran banyak orang yang adiktif terhadap perasaan ini. Apakah Anda salah satu di antara mereka yang kecanduan jatuh cinta? Coba kenali tanda-tandanya seperti yang terungkap berikut ini.

1. Selalu mendadak cintaKehadiran cinta memang tak bisa diatur dan direncanakan. Maka dari itu, saat merasa tertarik pada seseorang, pastikanlah apakah perasaan itu cinta yang sesungguhnya atau sekadar daya tarik sesaat?
Memang benar, saat berhadapan dengan persoalan perasaan, wanita lebih emosional dibandingkan rasional. Namun, di tengah gejolak emosional yang Anda hadapi, usahakan untuk menyelipkan pemahaman rasional, agar hidup senantiasa seimbang.

2. Selalu menyatakan perasaan terburu-buru
Menyatakan perasaan pada pria incaran, tak bisa dilakukan secara impulsif, dan hanya berdasarkan getaran serta debaran hati yang berpacu seru saat dekat dengannya. Sebaliknya, Anda harus mengenal si dia lebih baik dan lebih nyata, baru kemudian secara terbuka mengatakan rasa cinta Anda padanya.


3. Selalu membicarakan masa depan terlalu cepat
Jangan pernah membicarakan rumah idaman, jumlah anak, pesta pernikahan, dan masa depan pada pria yang baru saja dekat dengan Anda. Mengapa? Si dia akan mengambil langkah seribu untuk menjauh dari Anda.


4. Selalu menggantungkan kebahagiaan
Anda menggantungkan kebahagian hidup pada pasangan yang baru Anda kenal, membuat dirinya seakan-akan bertanggung jawab penuh pada Anda, sedangkan hal yang demikian adalah tidak benar. Jangan pernah menggantungkan masa depan dan kebahagiaan pada orang lain, walau pada seseorang yang Anda cinta sekalipun.  


5. Selalu mengabaikan kehidupan pribadi 
Anda berhenti bersosialisasi dengan sahabat atau kolega baik, pulang kerja lebih awal demi menjemput sang kekasih baru, dan rela menciptakan 1001 macam alasan untuk mengutamakan pasangan. Jika tak ingin menyesal dan kecewa, sebaiknya jangan terlalu berlebihan di awal hubungan.


6.  Selalu menghiraukan perasaan si dia
Anda jatuh cinta padanya, tapi apakah dia merasakan hal yang sama? Coba perhatikan sikapnya saat bertemu dengan Anda, apakah selalu ingin pulang cepat-cepat? Saat berbicara lewat telpon, apakah si dia seperti selalu tergesa-gesa ingin mengakhir percakapan?

Buka mata dan telinga Anda, jangan “termakan” oleh perasaan sendiri hingga melupakan perasaan si dia yang sesungguhnya.

Daya Pikat Wanita Tomboi

Apakah perempuan tomboi lebih sulit mendapatkan pasangan? Jawabannya belum tentu! 

Pasalnya, pria memandang wanita tomboi sebagai sosok yang praktis, menyenangkan, humoris, dan memiliki kelembutan khas seorang wanita. Sebab itulah banyak pria tergila-gila pada mereka.
Simak lima “magnet” menakjubkan para wanita tomboi yang membuat pria bertekuk lutut untuk mereka:

Tidak Manja
Kala sedang beraktivitas dengan pasangannya, sejumlah pria malas mendengar keluhan wanita, seputar kuku patah, kulit hitam, dan rambut berminyak. Nah, hal yang demikian pastinya tidak dialami bersama wanita tomboi. Sebab, pada dasarnya, pria mengagumi wanita yang percaya diri, spontan, dan aktif, terutama berkaitan dengan kegiatan di alam terbuka.


Siap dalam lima menit 
Dalam kamus waktu perempuan, lima menit berarti 50 menit. Lain halnya dengan wanita tomboi, mereka tak memerlukan banyak waktu untuk berdandan dan berpakaian. Singkatnya, jika mereka mengatakan lima menit, berarti tepat lima menit, tak meleset. 

Memiliki hati yang lembut
Umumnya para wanita tomboi, memiliki perasaan lebih lembut dibandingkan wanita yang feminin. Mereka suka mengadu nyali dengan kegiatan ekstrim, tapi mereka tetap sadar akan keterbatasan diri sebagai seorang kaum hawa. Inilah daya tarik terbesar mereka di mata pria.

Wanita tomboi mungkin saja kurang ekspresif terhadap hal-hal nan romantis, namun mereka peka terhadap perasaan orang lain terutama pasangan. Jadi, jangan heran jika banyak pria yang tergila-gila dengan  sifat mereka tersebut, itulah yang membuat pria tertantang menaklukan wanita tomboi.

Jujur dan apa adanya 
Wanita tomboi terbilang anti menggunakan bahasa tersirat untuk menarik perhatian pasangan. Mereka lebih senang mengutarakan pikiran dan perasaan dalam pernyataan yang jujur, lugas, dan tidak bertele-tele.

Seru dan penuh tantangan
 Wanita tomboi tidak mudah terlena dengan hadiah, puisi cinta, dan janji manis pria. Sebaliknya, mereka lebih percaya bukti dibandingkan buaian. Alhasil, pria pun merasa tertantang untuk mendapatkan mereka, karena seperti kita ketahui, pria senang proses mengejar wanita. Jadi, biarkanlah mereka melakukannya.

10 July 2014

Ramadhan dan Doa Orang Berpuasa

Manusia dalam menjalani kehidupan pasti mendapati masalah. Baik itu masalah terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya.

Allah ta’aalaa memberikan manusia banyak keutamaan dibandingkan dengan makhluk yang lain. Diantara keutamaan tersebut yaitu akal. Yang mana dengannya seorang manusia dapat berfikir, membedakan yang baik dan buruk.

Manusia yang menggunakan akalnya dengan baik niscaya mereka akan membenarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Kemudian ia masuk ke dalam dien (agama) yang lurus ini, Islam.

Diantara yang harus seorang Muslim benarkan dari Al-Quran dan Al-Hadits adalah adanya Allah yang Maha Penjawab Doa seorang hamba.

Manusia selalu berurusan dengan masalah dalam hidup pasti membutuhkan solusi. Sedangkan Allah ta’aala lah yang hanya memiliki solusi tersebut.

Karenanya, menjadi sebuah keharusan bagi seorang hamba untuk meminta solusi kepadaNya. Dengan apa? Dengan berdoa padaNya.

Terlebih dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah saat ini. Dimana Allah ta’alaa menjanjikan doa yang terkabulkan padanya.

Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang yang berpuasa pada saat berbuka memiliki doa yang tidak ditolak.” (HR. Ibnu Majah)

Abdullah sendiri saat berbuka berdoa, “Allahumma inni as-aluka birahmatikallati wasi’at kulla syai-in an taghfiro li” (Yaa Allah, aku memohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuniku.)”

Dan ada riwayat yang sifatnya lebih umum, yang menjelaskan bahwa bagi seorang yang berpuasa doanya terkabulkan di setiap waktunya selama ia dalam keadaan puasa, bukan hanya ketika berbuka saja.

Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda; “Ada tiga golongan yang tidak ditolak doanya: orang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang teraniaya.”

Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa seorang muslim hendaknya memperbanyak doa selama ia dalam keadaan berpuasa. Allah ta’aala a’lam bish shawaab.

[Source : Hidayatullah.com]

Wanita Memang Sulit Setara dengan Pria

Ilustrasi Pria tidak setara dengan Wanita
Dibandingkan dengan dua generasi sebelumnya, saat ini kesempatan seorang wanita untuk meniti karier pada berbagai bidang yang dianggap domain pria semakin terbuka lebar. Seorang wanita bahkan bisa menjadi presiden.

Meski demikian, benarkah wanita sudah setara dengan pria? Ternyata tidak juga. Faktanya, selalu ada standar ganda untuk pria dan wanita. Tak percaya? Simak beberapa hal berikut ini.

1. Tidak boleh terlalu banyak pasangan
Pria yang memiliki banyak pasangan kerap dimaklumi oleh lingkungan sekitarnya. Sementara itu wanita yang mendapat label "murahan" karena melakukan perselingkuhan, kerap ditolak oleh lingkungannya.

2. Rumah berantakan
Jika kondisi rumah berantakan, tudingan tidak bisa mengurus rumah sering diarahkan kepada wanita. Tak dipungkiri kaum wanita adalah pihak yang paling sering membereskan rumah. Jika ada waktu yang tersisa untuk dinikmati para wanita setelah bekerja dan mengurus anak, maka tugas itu adalah bersih-bersih rumah.

3. Kelebihan berat badan
Meski pria dan wanita sama-sama juga dihakimi karena bentuk tubuhnya, penelitian menunjukkan bahwa wanita yang kegemukan lebih merasakan tekanan sosial untuk menurunkan berat badan ketimbang pria.

4. Berterus terang
Seorang wanita yang mengungkapkan pikirannya secara terbuka kerap dianggap sebagai orang yang arogan dan agresif. Sementara jika pria yang melakukannya akan dianggap memiliki sifat kepemimpinan.

5. Tak punya anak
Wanita yang memutuskan untuk tak memiliki anak akan dinilai sebagai "egois" karena mereka melupakan kodratnya sebagai wanita. Orang di sekitarnya juga akan menyampaikan bahwa mereka akan menyesali keputusannya. Sebaliknya dengan pria, mereka punya kekuasan untuk menentukan kapan dan berapa ingin punya anak.


[Source : the huffington post]

Studi: Pria Lebih Mudah Berkonflik Dibanding Perempuan

Konflik yang kerap terjadi di jalan, di kantor, atau bahkan di lapangan pertandingan olahraga, ternyata bisa dipicu oleh faktor kehadiran kaum laki-laki. Menurut penelitian, pria sudah memiliki insting untuk agresif terhadap siapa pun yang mereka anggap sebagai 'orang luar'.

Dalam kehidupan awal manusia di Bumi, konflik dan kekerasan antarlelaki bisa meningkatkan status dan lebih mudah mendapat pasangan. Namun, sejalan dengan perkembangan manusia dan teknologi, bentuk kekerasan dan konflik ini bisa berubah menjadi perang dalam skala besar.

Sebaliknya, kaum perempuan dianggap lebih 'lembut dan bersahabat'. Sifat ini dikembangkan kaum Hawa dengan tujuan bisa meredakan konflik dengan cara damai agar bisa melindungi anak-anaknya.

Kesimpulan ini ditarik dalam sebuah studi dalam Philosophical Transactions of the Royal Society B. Studi ini merupakan paparan bukti evolusi hipotesa 'pejuang laki-laki'.

Studi ini juga menjelaskan mengapa lelaki lebih bisa dalam menjalin ikatan kelompok dan akan memiliki hubungan kuat dengan anggota di dalamnya. Terutama jika saat itu mereka tengah bersaing dengan kelompok lain.

Evolusi hubungan lelaki dengan rekan sesama anggota kelompok dan dengan 'pihak luar' menjadi penyebab perang antara negara atau pun kerajaan di masa lalu. Sedangkan di masa modern, pertikaian ini bisa terlihat dalam perang antar kelompok suporter olahraga.

"Solusi konflik yang sudah menjadi masalah umum dalam masyarakat sekarang ini tetap sulit dipahami. Salah satu alasannya karena kita sulit mengubah pola pikir yang sudah berevolusi selama ribuan tahun," kata Prof Mark van Vugt sebagai pemimpin studi ini.

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month