Share Info

1 November 2012

Ketika Asa Hidup Sirna


Namanya Asa Putri Utami. Bocah perempuan kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 31 Maret 1997, itu diketahui mengidap lupus. Setelah berjuang melawan penyakitnya, Asa akhirnya menyerah kalah. Pada 11 September 2007, ia mengembuskan napas terakhir dengan senyum di bibirnya.

Kisah di atas adalah penggalan salah satu kisah menyentuh tentang menyambut ajal yang menjadi suplemen dalam buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat.

 Kisah tentang Asa yang ditulis Hermawan Aksan tadi makin mengharukan ketika lebih jauh dituturkan begini. ”Bahkan di keranda, bibir Asa tetap menyunggingkan senyum meski kedua matanya terpejam. ’Lihat! Asa tidak mati! Dia hanya tidur. Lihatlah wajahnya! Seperti sedang tidur. Dia tidak dalam kesakitan,’ ucap seorang bocah cilik, teman sekolah Asa, tatkala dia melihat jasad temannya terbujur kaku di mushala menjelang proses pemakaman.”

Kematian Asa dapat dikategorikan sebagai kematian yang indah. Tak sedikit kematian terjadi lewat pergumulan batin dan raga, utamanya yang dilakukan lewat bunuh diri.

Adalah psikiater Elizabeth Kübler-Ross, penulis buku amat terkenal, On Death and Dying (1969), yang merupakan orang pertama yang menganalisis tahapan pergulatan batin mereka yang menghadapi ajal, termasuk yang kemudian memutuskan bunuh diri.

Model yang kini dikenal sebagai model Kübler-Ross itu terdiri atas lima tahap: penyangkalan (denial), amarah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan pasrah (acceptance).

Mereka yang memutuskan bunuh diri dapat dikatakan berhenti pada tahap keempat, yaitu depresi. Karena kehilangan asa hidup, mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup. Jadi, tahap kelima, pasrah dan berdamai dengan diri sendiri, belum mereka capai. Umum diketahui di kalangan kedokteran jiwa komunitas bahwa depresi adalah 80 persen penyebab bunuh diri.

Pakar lain yang mengkaji fenomena bunuh diri adalah sosiolog Emile Durkheim dengan bukunya, Le Suicide (1897). Cendekiawan Jalaluddin Rakhmat dengan jeli mengutip buku Durkheim dalam paparannya pada Simposium Nasional Bunuh Diri di Surabaya tahun 2009. ”Pengalaman-pengalaman pribadi yang lazim dianggap sebagai penyebab langsung bunuh diri sebenarnya hanyalah pengaruh yang dipinjam dari disposisi moral si korban. Padahal, itu sebenarnya merupakan gaung keadaan moral masyarakat... Kesedihan menghampirinya dari ketiadaan.”

Durkheim membagi empat tipe bunuh diri menjadi tipe anomik, fatalistik, egoistik, dan altruistik. Barangkali mitos pulung gantung (menggantung takdir) yang menjadi alasan bunuh diri di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, tergolong dalam tipe altruistik. Konon dikatakan bahwa ada orang-orang yang rela bunuh diri demi menyelamatkan desanya dari bencana alam setelah ia melihat meteor melintas di atas langit desanya.

Jalaluddin lebih jauh menyebut contoh kasus Ernest Hemingway, pengarang Amerika Serikat pemenang Hadiah Nobel Sastra yang bunuh diri. Ternyata di keluarga Hemingway banyak sekali yang melakukan bunuh diri. Mulai dari ayahnya, saudara lelakinya, saudara perempuannya, hingga cucunya, Margaux, semuanya bunuh diri. Margaux mati karena overdosis pada 31 Juli 1996 setelah mengalami sejarah alkoholisme, bulimia, dan epilepsi. Margaux menggambarkan keluarganya ”amat, amat disfungsional”.

Ronald Marris dkk dalam buku Comprehensive Textbook of Suicidology (2000) mengajak kita merenungkan seberapa jauh patologi dan kematian keluarga Hemingway adalah akibat hubungan sosial dan seberapa banyak disebabkan oleh faktor- faktor biologis atau genetis, bahkan kekuatan psikologis.

Marris dkk menyatakan, hubungan-hubungan sosial yang menjadi pemicu bunuh diri dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, negatif (suicidogenic), yakni pengasuhan buruk orangtua (bad parenting), perundungan (bullying), dan budaya bunuh diri. Kedua, absen, yakni tak adanya orangtua, tidak menikah, perceraian, dan tak ada sahabat dekat. Sebanyak 50 persen kematian akibat bunuh diri di kota Chicago disebabkan tak adanya sahabat.

Penyebab yang sepele

Menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Diah Dewi Utami, bunuh diri merupakan jalan pintas (keputusan akhir) penyelesaian masalah yang dirasa membebani dan tidak ada harapan. Akhir-akhir ini, keputusan melakukan bunuh diri di kalangan anak muda dilakukan karena persoalan yang tidak terlalu kompleks, bahkan bisa dikatakan sederhana. Misalnya, karena orangtua pilih kasih, pacaran tidak direstui dan putus cinta, tidak naik kelas, atau terlambat membayar uang sekolah.

Dikatakan, sejauh ini tidak ada data nasional untuk bunuh diri di Indonesia. ”Namun, angka kematian akibat bunuh diri di Tanah Air belakangan cenderung meningkat. Kasus yang disebabkan banyak faktor ini cenderung dilakukan di tempat-tempat terbuka,” kata Diah.

Menurut Surilena dalam tulisan Fenomena Bunuh Diri di Indonesia (2004), tercatat 1.020 orang melakukan percobaan bunuh diri setiap tahun dan 705 orang di antaranya tewas, Sementara itu, Guru Besar Emeritus Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno memaparkan, berdasarkan data di Bagian Forensik FKUI/RSCM, di Jakarta dari tahun 1995-2004 tercatat ada 1.119 pelaku bunuh diri, 771 laki-laki dan 348 perempuan.

”Posisi Indonesia hampir mendekati negara-negara yang terkenal tinggi kasus bunuh dirinya, seperti Jepang yang tingkat bunuh dirinya lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 orang per tahun,” ujar Diah.

Sebenarnya posisi Jepang kini digeser Korea Selatan. Angka yang dirilis Departemen Kesehatan Korsel awal tahun 2009 menyebutkan, kasus bunuh diri di negara itu mencapai 33,8 per 1.000 orang tiap tahun. Diikuti Hongaria dengan rasio 23,3 dan Jepang dengan rasio 22,2.

Direktur Kesehatan Mental WHO Benedetto Saraceno tahun 2005 melansir data menghebohkan, yaitu angka rata-rata kematian akibat bunuh diri di Indonesia mencapai 24 per 100.000 penduduk. Artinya, setiap tahun diperkirakan ada 50.000 orang bunuh diri di Indonesia, atau setiap hari 150 jiwa! Angka ini, menurut Prayitno, terlalu tinggi.

Walau demikian, faktor risiko bunuh diri di Indonesia, lanjutnya, sudah lengkap. Setidaknya ada 10 faktor risiko, yaitu pasien gangguan mental, terutama depresi, belum ditangani optimal; pengangguran 35 juta jiwa; kemiskinan 35 juta jiwa; keterdesakan biaya ekonomi; mahalnya biaya sekolah, kesehatan, dan keperluan hidup; penggusuran permukiman dan pedagang kaki lima; lingkungan psikososial yang parah; kesenjangan kaya-miskin; pekerja migran; dan bencana alam/pengungsi.

Hari ini adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Ke-20, yang di tingkat global bertema ”Depresi: Suatu Krisis Global”. Di banyak negara maju, depresi sudah diantisipasi sebagai epidemi bisu yang harus ditanggulangi sebagai gerakan masyarakat. Di antaranya, pembentukan program seperti Beyondblue di Australia dan organisasi seperti Samaritans untuk pencegahan bunuh diri.

Di Indonesia, sayangnya, massa kritis (critical mass) yang peduli terhadap masalah depresi dan bunuh diri masih menyebar. Hotline yang ada pun tidak ditangani dengan serius.


[Source : kompas]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month