Share Info

3 August 2012

Ragu

Ragu adalah penyakit yang sering menghantui banyak orang. Karena keraguannya, tidak sedikit manusia yang celaka lantaran tidak memiliki pegangan hidup yang jelas. Orang seperti ini bisa dikata melewati kehidupannya dengan kebingungan.

Membiasakan membiarkan keraguan datang, hanya menambah kerugian. Sebab hidup butuh kepastian dan keyakinan. Ragu untuk hal-hal yang belum pasti boleh saja, tetapi jangan untuk permasalahan yang sudah jelas. Apalagi yang menyangkut nasib dunia akhirat, termasuk di dalamnya pemilihan jalan dan sikap hidup.

Orang yang tak memiliki keyakinan gampang sekali diombang-ambingkan keadaan. Ketika orang lain ramai-ramai ke utara, ia dengan mudah ikut ke utara. Demikian juga ketika angin bertiup ke selatan, ia menurutinya tanpa banyak pertimbangan. Halal atau haram, baik atau buruk, tidak menjadi dasar keputusannya, karena ia sendiri tidak yakin bahwa yang halal akan membawa berkah dan kebaikan.

Orang yang ragu begitu gampang tersesat, ibarat orang berjalan tanpa petunjuk. Mana dan apa yang dituju tidak jelas, atau tidak tegas dijadikan acuan arah melangkah. Akhirnya di perjalanan terombang-ambing oleh arah telunjuk orang. Bila tak sampai, maka tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.

Karena tingkat bahayanya itu, Islam menuntun ummatnya supaya menghilangkan segala macam keraguan, utamanya dalam menentukan jalan hidup. Al-Qur'an menuliskan, di antaranya:

"Kebenaran itu dari Rabb-mu, maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu-ragu." (Ali 'Imran: 60)

Islam menghendaki sikap totalitas dari ummatnya. Kalau muslim ya muslim, jangan kadang-kadang Islam kadang-kadang tidak. Yang 'kadang-kadang' ini dikatagorikan tetap sebagai bukan muslim. Penyerahan diri kepada Allah sebagai wujud pengakuan kehambaan, wajib dilakukan sepenuh hati. Tanpa itu tidak akan diterima sebab masih tersirat di sana penyerahan diri kepada selain Allah.

Manusia hidup memikul konsekuensi, apapun jalan yang dipilihnya. Dan akibat dari yang dilakukan seseorang, mutlak menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan Allah. Karena itu sangat fatal bila semasa di dunia, seseorang tidak kunjung memiliki keyakinan hidup. Apa nanti yang akan dijadikannya pembela di pengadilan akhirat? Amalnya, tidak dilandasi niat yang pasti, karenanya dinyatakan batal. Ia sendiri juga tidak siap menghadapi kenyataan bahwa alam akhirat benar-benar ada, karena semasa di dunia ia kadang-kadang masih mengira bahwa hidup ini hanya sekali saja.

Yakinlah akan kebenaran Islam, karena hanya itu yang akan menyelamatkan manusia. Sama-sama belum pernah mati, alangkah baiknya bila kita mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Kepada yang masih ragu-ragu akan adanya hari akhirat, bukankah lebih baik meyakini keberadaannya sejak sekarang, ketimbang dikira tidak ada tetapi ternyata nanti setelah mati, benar-benar ada? Allah swt berfirman, "Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada percaya." (QS. Al-Mu'min: 59)

Islam mensyaratkan 6 hal untuk diyakini sebagai pondasi keimanan seseorang. Setelah percaya kepada Allah sebagai Rabb, percaya adanya malaikat Allah, percaya adanya kitabullah yang benar-benar diturunkan untuk manusia, percaya adanya hari akhirat, dan percaya kepada utusan-utusan Allah, manusia juga dituntut untuk percaya kepada ketentuan (taqdir) Allah. Kepercayaan ini wajib melekat dan benar-benar diyakini sepenuh hati. Sebab bila belum yakin bahwa Allah mengutus rasul di muka bumi, seseorang tidak akan bersedia mengikuti tuntunan Nabi. Bila belum percaya bahwa isi kitab Allah seluruhnya benar, tidak mungkin pula seseorang akan mengikuti petunjuk di dalamnya secara penuh.
Paling-paling hanya akan memilih yang enak-enak dan menghindari yang memberatkan. Orang demikian sama halnya dengan orang yang kafir, yang tegas-tegas seratus persen tidak percaya.

Sebagai penyakit, keraguan tergolong penyakit menular yang sangat mengganggu kesehatan ruhani. Banyak orang yang ragu akan kebenaran ini mewarnai kehidupan, kemudian menularkan keraguannya kepada yang lain. Akibatnya jumlah orang-orang yang ragu ini semakin banyak saja.

Ungkapan orang yang ragu dengan kehidupan akhirat sering indah dan memiliki daya tarik sangat kuat. Yang lebih berbahaya lagi kalau dilengkapi sejumlah bukti dan ayat untuk mengokohkan argumentasinya. Dengan kecenderungan manusia untuk mengejar kenikmatan dunia, menyebarkan keraguan akan akhirat menjadi lebih gampang. Manusia dibuat lupa, lewat berbagai kesibukan yang menghabiskan waktu dan tenaganya.

Kadang ungkapan itu terasa halus, namun tetap mengisyaratkan bahwa keraguan telah menjiwainya. Misalnya tentang perlunya keseimbangan dunia dengan akhirat. Penafsiran yang disodorkan tentang masalah ini, kadang cenderung tendensius dengan hanya mensyaratkan kaum muslimin hidup kaya di dunia agar bisa kaya di akhirat. Bahasa-bahasa yang sudah lazim terdengar, kita tidak boleh menjadi kelompok yang lemah sehingga akan dengan mudah dikalahkan musuh. Dengan kekayaan kita menjadi kuat.

Tentu saja pernyataan itu tidak keliru. Sebagai wujud tanggung jawab keummatan hal itu betul saja, apalagi Rasulullah melalui haditsnya juga lebih mencintai ummat yang kuat daripada yang lemah. Yang menjadi masalah adalah karena terlalu sedikitnya porsi hidangan yang mengantarkan kita kepada keyakinan tentang kehidupan yang abadi. Bahkan terkesan uraian-uraian yang ada menyangkut ke-akhiratan itu dibahas secara sambil lalu saja, seolah-olah masalah akhirat adalah masalah yang ringan dan bisa dilakukan secara sambilan.
Bukankah kita layak bersedih bila ancaman siksa kubur maupun kabar-kabar tentang hari akhirat ketika diceramahkan, malah diperlakukan seperti lelucon? Mengapa berita tantang adzab yang pedih ketika disampaikan kok jadi lucu? Mengapa tidak timbul rasa kekhawatiran dan kecemasan, justru yang muncul adalah tawa terbahak-bahak?

Bukankah di kalangan para sahabat, yang telah melakonkan agama ini pada periode awal, sekali mendengar kabar ini mereka menangis tersedu-sedu dan beristighfar, agar dijauhkan dari apa yang diancamkan? Pergeseran apa yang sedang terjadi dalam diri manusia? Tidak mungkin wahyunya yang keliru. Kebenaran wahyu sifatnya abadi sepanjang masa.
Ayat-ayat-Nya tetaplah suci dan mulia sampai akhir zaman. Yang perlu dilakukan peninjauan, adalah pada hati kita. Mungkin di sana telah bersarang berbagai jenis penyakit. Kita mulai tidak yakin akan ancaman siksa akhirat maupun pahala. Seakan-akan, karena selama di dunia kita senantiasa bisa hidup enak, di akhirat tidak akan ada lagi kesusahan.

Keseimbangan unsur dunia dengan akhirat tidak hanya diukur dari 'kesejahteraan'. Manusia dituntut untuk berupaya memenuhi tuntutan hidupnya semasa di dunia, tetapi jangan sampai melanggar aturan yang akan menyebabkannya celaka di akhirat. Manusia juga tidak boleh menelantarkan hidupnya hanya dengan alasan ingin mendapatkan akhirat, karena hal ini justru bertentangan dengan ketentuan Allah swt.

Bahaya munafik.

Pada awalnya, kelompok orang-orang yang ragu ini diketuai oleh Abdullah bin Ubay pada zaman Rasulullah. Kelompok mereka kemudian dikenal sebagai kaum munafik. Karena tidak punya pendirian, mereka juga disebut sebagai kelompok plin-plan. Menyatakan sebagai kafir tidak, tetapi membela kaum muslimin juga tidak, karena tidak yakin akan kemenangan maupun janji akhirat. Akhirnya, kelompok Abdullah bin Ubay menjadi pangkal perselisihan antar ummat Islam karena hembusan fitnah dan analisisnya atas hal-hal yang tidak diketahuinya secara pasti.

Tidak mustahil penyakit seperti itu juga menimpa diri kita. Sifat-sifat manusia yang serba pelupa, sombong, gemar pamrih sekalipun dhaif, memang sangat rentan terhadap penyakit keraguan dan (akhirnya) kekhawatiran. Karena informasi yang tendensius, seseorang bisa berubah fikiran dan menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan... jangan-jangan.., begitu pertimbangan-pertimbangan yang muncul.

"(Ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata, 'Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya.'"(QS Al-Anfaal: 49)

Mungkin secara terus-terang kita tidak pernah mengungkapkan 'pelecehan' seperti ini. Akan tetapi ungkapan yang bernada 'tidak akan beruntung kalau menekuni agama selalu' ini mengandung makna tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit hati dalam ayat di atas. Ini suatu kekeliruan yang hendaknya diluruskan.

"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau-gurau dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (QS Al-An'aam: 70)

Mari tinggalkan keraguan. Kita geluti dan seriusi agama Allah sebagai jalan satu-satunya menuju keselamatan dunia akhirat. Ingatlah di majelis pengadilan oleh para malaikat nanti, tidak akan ditanyakan warna apakah pakaian kita, pada pemilu memilih gambar apa, apakah kita sudah pernah mencicipi nasi kebuli atau belum, dan sebagainya. Yang harus kita pertaruhkan nantinya adalah nurani kita sendiri, yang didukung oleh sikap hidup dan konsistensi kita.

[Source : http://amier4exs.blogspot.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month