Share Info

26 July 2012

Ketika Guru Harus (dipaksa) Beli Laptop

Jengkel dan bingung, inilah yang barangkali sedang dirasakan oleh para guru bersertifikat di kota Malang. Pasalnya, Dinas Pendidikan setempat mewajibkan para guru tersebut untuk membeli laptop yang dikoordinasi oleh diknas sendiri. Sialnya, aturan ini berlaku untuk semua, termasuk guru yang sudah memiliki laptop sebelumnya.


Upaya meningkatkan kemampuan teknologi informasi bagi para guru menjadi alasan diknas memunculkan aturan ini. para guru diwajibkan untuk membeli laptop bermerek Toshiba dengan kisaran harga 7.8 juta. Memang pembayarannya bisa dilakukan dengan mencicil, namun kisaran harga ini membuat para guru keberatan. Mereka pun mempertanyakan kenapa harus semua? Kenapa tidak hanya untuk yang belum memiliki laptop saja? Meski Walikota Malang sudah menyatakan bahwa tidak boleh ada pemaksaan untuk pembelian laptop ini, para guru tetap meragukannya.

Kisaran harga 7.8 juta memang cukup mengejutkan. Setidaknya dengan harga ini, laptop yang akan didapat sudah memiliki spesifikasi menengah keatas, seperti Core i3-2330M, 2 GB DDR3, 640 GB HDD. Pertanyaannya mungkin, haruskah setinggi ini spesifikasi yang dibutuhkan oleh para guru jika hanya untuk meningkatkan kemampuan IT nya? Tidak cukupkah dengan laptop berkemampuan menengah kebawah?
Sebagaimana kita ketahui, mayoritas guru masih dalam tahap belajar teknologi, terutama untuk guru yang usianya diatas 40 tahun. Artinya, bisa jadi spesifikasi tinggi akan menjadi mubadzir karena ada kemungkinan para guru tersebut belum bisa memanfaatkannya. Paling banter, mereka memanfaatkan teknologi laptop untuk membuat presentasi dan internet. Artinya lagi, spesifikasi rendah dengan kisaran harga 2 - 3 jutaan menjadi harga yang lebih rasional.

Kebijakan memaksa

Kita semua memang mengamini bahwa guru harus melek teknologi. Para guru harus selalu mengupdate dan mengupgrade kemampuannya terutama yang berhubungan dengan teknologi yang berkembang dengan begitu cepatnya. Hal ini akan membuat proses belajar mengajar bisa lebih menarik dan otentik. Meski begitu hal ini tidak harus diterjemahkan dengan mewajibkan mereka membeli laptop. Tidak ada jaminan bahwa memiliki laptop akan bisa membuat seseorang melek teknologi.

Ada baiknya keinginan ini diterjemahkan secara lebih bijak. Para guru diberi kebebasan untuk menentukan sendiri laptop yang akan mereka beli sesuai dengan kemampuan mereka. Dinas hanya perlu memberi pendampingan lewat pelatihan yang berkelanjutan. Mewajibkan membeli laptop tanpa memberi pendampingan pelatihan yang maksimal akan menjadi percuma. Para guru yang sudah disibukkan untuk menyiapkan pengajaran mereka tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk belajar teknologi secara otodidak, apalagi untuk mereka yang baru pada tahap belajar.

Peningkatan teknologi di ruang kelaspun harus diperhatikan, seperti penyediaan Komputer dan LCD projector. Apa jadinya jika para guru sudah memiliki laptop tapi mereka tidak punya media untuk memanfaatkannya di ruang kelas. Bukankah ini juga menjadi sesuatu mubadzir?

Yah..keputusan ini memang belum final, semua masih bisa berubah. Namun, yang pasti kita menanti adanya kebijakan yang memang bijak, bukan kebijakan yang memaksakan, yang hanya sekedar untuk meningkatkan prestise dan ujung-ujungnya untuk meraup untung.

Penguasaan teknologi untuk para guru memang sangatlah penting. Tuntutan teknologi yang sudah semakin tinggi secara tidak langsung menuntut guru pula untuk setidaknya mengetahuinya. Namun, apakah ini disadari oleh semua guru? Bukankah lebih baik dinas bergerak secara intensif dalam memberikan penyadaran melek teknologi bagi para guru? Jika guru saja belum sadar bahwa mereka harus melek teknologi, memiliki laptop tidak akan memberi makna apapun.
[Source : http://mutiarabirusamudra.blogdetik.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month