Share Info

30 March 2012

Aku Cuma Selingkuh Kok.....


Bicara soal selingkuh memang selalu menjadi topik yang menarik. It’s a never ending topic! Tak hanya yang sudah menikah, yang masih dalam status pacaran pun merasakan sakit yang tak terkira ketika mengetahui pasangannya berselingkuh.


Biasanya pihak yang melakukan perselingkuhan akan selalu menjadi sorotan dengan predikat buruk di mata orang lain. Tak peduli alasan apa yang membuatnya berselingkuh, kesan negatif seperti otomatis langsung melekat pada si pelaku selingkuh. Bahkan pada beberapa golongan, orang suka juga mencari keuntungan di balik perbuatan negatif ini dengan dalih ‘daripada selingkuh, mendingan poligami’.

Well, untuk yang terakhir ini, ngobrol sama tembok saja ya supaya suaranya hanya terdengar menggaung di telinga sendiri, soalnya ini sama saja dengan ucapan seorang Pedagang  kaki lima yang terkena penertiban, tanpa mau melihat permasalahan dan menyadari kesalahannya berusaha di daerah bebas pedagang kali lima, dia malah asyik-asyik ngedumel – “Tanah tanah Allah, kita mau usaha aja diusir-usir!”

Mau ketawa karena lucu, tapi sebal juga dengar dia meng-klaim tanah milik Allah, kalau begitu boleh juga dong isterinya ditiduri oleh orang lain, kan milik Allah?

 Anyway, let’s get back to the topic, selingkuh. Kali ini kita bicara soal rasa saja deh, soalnya lingkup selingkuh lumayan luas, nanti ada yg tanya ‘ini termasuk selingkuh nggak ya?’ Saya anggap saja semua yang membaca sudah tahu mana yang termasuk selingkuh, mana yang bukan.

Kalau kita mencoba melihat sinonim dari kata selingkuh itu sendiri, berbagai macam kata negatif lainnya seperti serong, menipu, tidak jujur, dan lain-lain seolah-olah menjadi satu kumpulan perbuatan negatif yang melekat pada perbuatan selingkuh itu sendiri. Jika demikian buruknya, apakah selingkuh masih dapat ditolerir?

Jika seseorang masih bertahan menjalani hubungan dengan orang yang sudah berkali-kali berselingkuh terhadap dirinya, bayangkan berapa banyak ‘sampah’ yang sudah rela ditelannya?
Yang sering terjadi adalah, ketika pasangan tertangkap basah berselingkuh, kemudian meminta maaf, dan berjanji bahwa dia adalah milik kita seutuhnya, kebanyakan dari kita rela memberi kesempatan kedua, ketiga, bahkan dan seterusnya. Sadarkah kita bahwa jika itu kita lakukan berarti kita sendiri yang akhirnya sibuk mencari alasan pembenaran untuk perselingkuhan yang sudah dilakukan pasangan kita? Setelah itu hidup hanya akan dipenuhi oleh kecurigaan, rasa sakit hati, dan kebencian, meski akhirnya kembali menerima si peselingkuh itu. Apakah itu yang disebut ‘Cinta’? – Me? Not anymore!


Jika anda masih menyebut itu sebagai ‘cinta’, maka saya tak bisa lagi membayangkan yang dinamakan ‘benci’ itu seperti apa. Saya juga mungkin tak akan habis pikir, bagaimana cara anda menghargai dan mencintai diri anda sendiri.

Di dunia ini mungkin saja banyak orang yang membenci kita, menyimpan rasa iri, ataupun ingin menyakiti. Kita sering mendengar bahwa memaafkan kesalahan orang lain akan lebih baik daripada menyimpan dendam. Saya setuju sekali. Bisa saja kita memaafkan, tapi itu bukan berarti membuka pintu untuk ‘the new him/her’ seperti yang mudah dijanjikan ketika seseorang ketahuan berselingkuh dan berjanji tak akan mengulangi. Mungkin kita harus menanyakan kembali kepada hati kita masing-masing, untuk sebuah dedikasi terhadap rasa cinta yang tulus dan kepercayaan yang demikian besar kita berikan, kita rela dikhianati? Membuka mata lebar-lebar akan kenyataan tentang siapa sebenarnya orang yang kita cintai dan bertanya pada diri sendiri mungkin juga sedikit membantu, pantaskah saya menerima semua pengkhianatan ini?

Bertahun-tahun lalu, setelah kegagalan perkawinan saya yang juga salah satu penyebabnya adalah perselingkuhan yang dilakukan pasangan saya, saya berkenalan dengan seseorang yang ketika itu dalam masa penjajakan untuk mendekati saya. Hubungan antara dua orang yang pernah memiliki latar belakang kegagalan perkawinan tentunya berbeda dengan pasangan yang belum pernah berumah tangga. Ketika dalam masa-masa pendekatan, dia memberitahu saya bahwa akibat dari kegagalan perkawinan pertamanya adalah karena dia selingkuh.

“Kesalahanku cuma satu. Aku cuma selingkuh kok, nggak lebih dari itu!,” katanya sungguh-sungguh.
Hampir saja tawa saya meledak ketika itu. Cara bicaranya yang menganggap remeh perselingkuhan seperti mengatakan “Saya cuma makan tahu satu, kok disuruh bayar dua sih?”

Tapi saat itu saya hanya tersenyum geli. Selain ingin menjaga sopan santun, hilang sudah semua keinginan saya untuk mendengar semua ceritanya lebih jauh. How could I walk again with a cheating heart?

Untungnya, ketika dia bertandang ke rumah dan sempat bertanya kepada Sydney dan Echa yang waktu itu masih sangat kecil, “Dek, Mamanya buat Om ya?” – mereka kompak langsung menjawab tegas, “Nggak boleh!”
Hihi… Saya tidak harus mencari-cari alasan untuk menghindarinya lagi, karena dengan penolakan itu saya bisa pergi tanpa menyakiti.

Yang saya ingin coba sampaikan melalui cerita saya di atas adalah, bahwa pada kondisi seseorang mengalami kegagalan pada perkawinan pertamanya karena alasan selingkuhpun masih bisa merasa tidak bersalah atau menganggap selingkuh itu bukan masalah besar! Padahal kalau kita kembali lagi melihat hal-hal negatif apa yang termasuk dalam kata selingkuh saja, setidaknya 5 keburukan sudah tergambar dalam satu kata selingkuh itu sendiri.

Sekarang mari kita coba sama-sama tanyakan pada hati kita. Ketika kita ingin menerima kembali seseorang yang sudah mengkhianati cinta kita, beberapa pertanyaan ini mungkin bisa membantu untuk mempertimbangkan.
  1. Kenapa kita harus menerimanya kembali?
  2. Adakah ini benar-benar karena cinta? Tapi cinta itu hanya milik kita sendiri, bukan milik dia lagi.
  3. Apakah kita siap untuk disakiti lagi jika itu terulang?
  4. Apakah kita bisa menghapus semua rasa kecewa akibat perbuatannya?
Hello?? Time to wake up!
Kita, saya dan anda, mungkin punya niat baik ingin memperbaiki sesuatu yang sudah terlanjur salah. Tapi pada situasi ini, ada kesalahan yang sangat fatal, yaitu : mencintai dengan hati yang terluka!
Pasangan selingkuhnya mungkin saja lebih baik dari anda tapi mungkin saja tidak. Tapi ini semua bukan tentang anda! Apapun alasannya, ini tentang dia yang sudah melukai hati anda dengan perselingkuhannya. Pada kebanyakan orang ragu untuk mengambil keputusan berpisah dan masih berharap bahwa cinta pasangan masih tetap seperti ketika hubungan masih berjalan dengan tulus. 

Tetapi sebuah hubungan tentu saja membutuhkan komitmen. Jika seseorang mencintai anda, ia akan berkomitmen penuh hanya pada anda seorang. Haruskah kesempatan kedua diberikan? Saya pribadi akan mengatakan : ‘No one should be given a second chance, when the first one was a very long generous opportunity for love and happiness has been paid back by hate, hurt, misery and suffering.”
Ini bukan provokasi, apalagi membuat khawatir siapapun yang sedang gelisah dalam kebimbangannya karena pasangannya berselingkuh. 

Tetapi saya berharap setidaknya bisa memberikan sedikit masukan agar kita dapat mengambil keputusan dengan lebih hati-hati. Hidup dalam ikatan yang penuh rasa was-was dan curiga tak akan pernah membawa kebahagiaan. Cintai diri kita sendiri dulu, dan sempatkan bertanya dan menjawab dengan jujur pertanyaan ‘Saya hidup untuk apa?’

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month