Share Info

29 July 2011

Ramadhan: Raihlah Ketakwaan Hakiki, Bukan Ketakwaan Semu!

Sebentar lagi kita memasuki bulan Ramadhfan. Ramadhan adalah bulan agung. Kedatangannya perlu disambut dengan penuh kegembiraan dan penghormatan yang agung pula. Allah SWT menegaskan bahwa pada bulan Ramadhanlah al-Quran yang Mulia diturunkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185). Di bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yakni Lailatul Qadar (QS al-Qadar [97]: 1). Di bulan ini pula Allah SWT melimpahkan pahala yang berlipat ganda hingga puluhan, ratusan kali lipat, bahkan hingga jumlah yang Allah kehendaki untuk setiap amal salih dibandingkan dengan di bulan-bulan lain. Rasulullah saw. juga bersabda:

«قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانَ شَهْرٌ مَبَارَكٌ اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الجَنَّةِ وَ تُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الجَحِيْمِ وَ تُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ»

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan keberkahan. Allah telah mewajibkan kalian shaum di dalamnya. Di bulan itu pintu-pintu surga di buka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di bulan itu terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan (HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi).

Layaknya kedatangan ‘tamu agung’, seorang Muslim yang cerdas tentu akan melakukan persiapan yang optimal-dengan mempersiapkan bekal iman, ilmu maupun amal shalih-untuk menyambutnya. Tentu amat mengherankan jika kedatangan sesuatu yang agung hanya disambut dengan persiapan ala kadarnya, dengan sambutan biasa-biasa saja, tanpa ekspresi kegembiraan sama sekali.

Puasa di Tengah Himpitan Banyak Persoalan

Namun sayang, ibadah shaum Ramadhan yang dilaksanakan kaum Muslim, hingga Ramadhan tahun ini, belum beranjak dari kungkungan banyak persoalan (persoalan ekonomi, pendidikan, politik, pemerintahan, dll) yang sering merampas kegembiraan kaum Muslim dalam menyambut sekaligus mengisi bulan Ramadhan.

Di bidang ekonomi, saat ini masyarakat dibebani kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya beras. Selain karena permintaan yang meningkat menjelang Ramadhan, serangan hama, buruknya tata niaga dan insfrastuktur distribusi dan aksi spekulan; kenaikan tersebut utamanya disebabkan oleh kegagalan kebijakan Pemerintah di bidang pertanian. Dengan kebijakan Pemerintah saat ini, petani menanggung lebih dari 71% biaya produksi (Kompas, 26/7/2011). Dengan biaya produksi amat tinggi, wajar jika harga jual beras di pasaran pun sangat tinggi. Ujung-ujungnya, yang susah adalah rakyat secara umum.

Di sisi lain, wacana kenaikan BBM terus digulirkan. Boleh jadi, setelah Lebaran, kenaikan BBM sangat mungkin direalisaikan mengingat Pemerintah memang telah menjadikan pengurangan subsidi (khususnya BBM dan Listrik) sebagai bagian dari kebijakan ekonominya yang pro pasar (liberal). Wapres Boediono mengatakan, “Sedang digarap Menko Perekonomian rencana tiga tahun ke depan, akan ada pengurangan subsidi BBM dan listrik secara bertahap.” (Republika, 26/7/2011).

Di bidang pendidikan, persoalannya tak kalah menyakitkan. Di jenjang pendidikan tinggi, perguruan tinggi rata-rata memasang ‘tarif’ biaya masuk jutaan hingga ratusan juta rupiah. Inilah negeri dimana selain orang kaya “dilarang” bersekolah tinggi. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah kondisinya tak jauh berbeda. Meski ada uang BOS, banyak orangtua siswa yang tidak bisa membelikan untuk anaknya yang duduk di SD/SMP buku, seragam sekolah, iuran bulanan, apalagi uang pangkal. Tidak aneh jika tahun ini saja 4,7 juta siswa SD dan SMP yang tergolong miskin terancam putus sekolah (lihat, Republika, 26/7/2011).

Di bidang politik, korupsi tetap menjadi isu dominan. Terakhir adalah kasus Nazaruddin yang notabene petinggi partai berkuasa, Partai Demokrat. Kasus Nazaruddin hanyalah puncak dari tumpukan kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan wakil rakyat di negeri ini. Ketua KPK Busyro Muqodas mengatakan bahwa saat ini ada 158 pejabat (150 pejabat daerah dan 8 gubernur) yang tersangkut berbagai masalah, dan kini menunggu izin dari Presiden untuk diperiksa KPK (Repulika.co.id, 6/5). Fungsional Humas KPK Irsyad Prakarsa juga menyatakan bahwa selama 2011 ini saja KPK berhasil menjerat 20 kepala daerah baik gubernur, bupati atau walikota yang terlibat korupsi (metrotvnews.com, 16/7).

Di bidang pemerintahan, alokasi APBN dari dulu tidak berubah. Yaitu 60% untuk biaya rutin seperti gaji pegawai, pejabat negara, pejabat pemerintah, perjalanan, ATK, perkantoran, dsb; 20% untuk nyicil hutang dan bunganya; dan 20 % untuk pembangunan. APBD pun tak berbeda. APBD 2011 rata-rata paling besar untuk gaji pegawai. Sebanyak 124 dari 526 kabupaten/kota anggaran belanja pegawai di atas 60% sementara belanja modalnya hanya 1-15 %. (lihat, Republika, 5/7).

Islam atau Sekularisme?

Semua itu hanyalah secuil masalah yang membelit bangsa ini. Sudah berkali-kali ditegaskan, bahwa pangkal dari semua persoalan yang membelit bangsa ini tidak lain adalah sekularisme, yakni pengabaian agama (Islam) dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pemerintah keukeuh menjadikan sekularisme sebagai asas untuk mengelola negeri ini. Padahal sekularismelah yang melahirkan sistem Kapitalisme-liberal yang diterapkan oleh negara saat ini, yang justru menjadi biang segala persoalan yang membelit bangsa ini. Sebaliknya, hingga saat ini, Pemerintah tetap enggan menerapkan syariah Islam secara kaffah untuk mengelola negeri ini. Maka dari itu, wajarlah jika negeri ini tidak pernah lepas dari kungkungan kesempitan hidup dalam berbagai aspeknya, karena akar persoalannya-yakni sekularisme-tetap dipelihara dengan baik. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), bagi dia kehidupan yang sempit, dan dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Sejatinya sekularisme itu sudah sejak lama seharusnya dicampakkan. Sebaliknya, sudah sejak lama pula seharusnya diterapkan hukum-hukum syariah yang pasti akan mendatangkan keberkahan bagi bangsa ini. Apalagi penerapan hukum-hukum Allah SWT merupakan bukti nyata ketakwaan. Itu jika umat terutama penguasa negeri ini percaya dan yakin dengan firman Allah SWT:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿٩٦﴾

Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu, Kami menyiksa mereka akibat perilaku yang mereka lakukan itu. (TQS al-A’raf [7]: 96).

Puasa dan Takwa

Ibadah puasa Ramadhan ini pada akhirnya memang diharapkan dapat mewujudkan ketakwaaan pada diri setiap Muslim:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).

Menurut al-Jazairi, frasa “agar kalian bertakwa” bermakna: agar dengan shaum itu Allah SWT mempersiapkan kalian untuk bisa menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya (Al-Jazairi, I/80).

Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya kaum Muslim menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya pada bulan Ramadhan saja; juga tidak hanya dalam tataran ritual dan individual semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan Ramadhan sepanjang tahun, juga dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

Sayang, faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Setelah Ramadhan, sekularisme (pengabaian agama [syariah Islam] dari kehidupan) tetap mendominasi kehidupan kaum Muslim. Setelah Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan kaum Muslim, khususnya para penguasanya, untuk bersegera menegakkan hukum-hukum Allah SWT secara formal dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara. Bahkan di antara mereka ada yang tetap dalam keyakinannya, bahwa hukum-hukum Islam tidak perlu dilembagakan dalam negara, yang penting subtansinya. Anehnya, pemahaman seperti ini juga menjadi keyakinan sebagian tokoh-tokoh umat Islam. Keyakinan semacam ini hanya menunjukkan satu hal: mereka seolah ridha dengan hukum-hukum sekular yang ada (yang nyata-nyata kufur) dan seperti keberatan jika hukum-hukum Islam diterapkan secara total oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Padahal Allah SWT tegas menyatakan bahwa siapapun yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT bisa bertatus kafir, zalim atau fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).

Karena itu, agar kita tidak termasuk golongan orang-orang kafir, zalim atau fasik maka tentu kita harus segera menegakkan semua hukum-hukum Allah SWT melalui institusi negara. Sebab, hanya melalui institusi negaralah hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek-ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, peradilan, keamanan, dll-dapat benar-benar ditegakkan.

Karena itu pula, hendaknya seluruh kaum Muslim, khususnya di negeri ini, menjadikan Ramadhan kali ini sebagai momentum untuk segera mengubur sekularisme, kemudian menggantinya dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan melalui institusi negara, yakni Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah wujud ketakwaan hakiki. Itulah yang menunjukkan bahwa kita benar-benar sukses menjalani puasa sepanjang bulan Ramadhan. Itu pula yang menunjukkan bahwa kita adalah Muslim yang cerdas!

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

[Source : hizbut-tahrir]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month