Share Info

5 July 2011

Jerit Takut Guru Bersertifikasi

by : Anjrah Lelono Broto

Menggelindingnya tahun ajaran baru 2011/2012 agaknya menjadi gerbang untuk memasuki ‘rumah hantu’ guru bersertifikat. Tahun ajaran baru 2011/2012 yang secara resmi akan berlaku terhitung bulan Juli tahun ini akan menjadi penanda ketakutan guru bersertifikat untuk memiliki jam mengajar sesuai dengan tuntutan sertifikasi. Ketakutan yang besar kemungkinan akan diwarnai dengan jeritan ini mengemuka karena pemerintah tidak akan lagi memberikan toleransi bagi guru bersertifikat di tahun ajaran 2011/2012 ini.

Seperti yang kita ketahui bersama, selama ini pemerintah memberikan toleransi kebijakan kepada guru bersertifikat untuk mengajar di luar peruntukan sertifikat pendidik yang dimilikinya. Toleransi ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Faktanya, tidak semua guru bersertifikat mengajar kelas yang sesuai dengan peruntukan sertifikasi pendidik yang dimilikinya. Fakta ini mengerucut pada kesesuaian sertifikasi pendidik dengan tuntutan minimal 24 jam jam pelajaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada guru bersertifikasi pendidik mata pelajaran X yang guna melengkapi jumlah 24 jam tersebut ‘terpaksa’ mengajar mata pelajaran Y, Z, dll.

Terhitung 1 Juli 2011 ini, Permendiknas 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan resmi diberlakukan. Artinya, guru bersertifikat hanya diperbolehkan mengajar sesuai dengan sertifikat pendidik yang dimilikinya. Toleransi pemerintah yang melonggarkan guru bersertifikat pendidik untuk mengajar di luar keahliannya, seperti mengajar mata pelajaran serumpun, menjadi tutor Paket A, B, dan C, guru inti/instruktur/tutor pada kelompok kerja guru/musyawarah guru mata pelajaran (KKG/MGMP) telah menemui akhir masa orbit. Dengan kata lain, apabila ada guru bersertifikat yang selama ini memasukkan jam pembinaan kegiatan ekstrakurikuler, pembelajaran bertim (team teaching) dan pembelajaran perbaikan (remedial teaching) guna memenuhi target minimal 24 jam pelajaran, terhitung 1 Juli 2011 ini harus mengepakkan sayap lebih atau menjerit ketakutan mengingat ada ancaman akan melayangnya sertifikat pendidik yang telah dimilikinya.

Memang, selama ini guru bersertifikat tidak sukar untuk memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 jam. Mereka masih bisa menambah kekurangan jam tatap muka dengan mengajar mata pelajaran serumpun, seperti mengajar di Kejar Paket A, B, C, atau mengajar dengan team teaching dan remedial teaching. Toleransi ini memang tidak semata pragmatis demi kesuksesan program sertifikasi pendidik yang digulirkan pemerintah, mengingat peta ketersediaan guru di sekolah yang sesuai dengan ijazah yang dimilikinya di Indonesia masih karut-marut.

Kondisi ini dilatarbelakangi oleh masih gemuknya kuantitas guru yang belum mengantongi ijazah yang sesuai dengan tugas mengajarnya. Secara umum, gemuknya kuantitas guru seperti ini didominasi oleh guru produk pengangkatan lama dimana S-1 belum belum menjadi persyaratan wajib untuk menyandang predikat guru. Di sisi lain, meruapnya fakta bahwa guru adalah aparatur negara non-militer, dimana guru tidak seperti prajurit TNI yang tetap mampu mendarmabaktikan dirinya secara optimal meski ditempatkan di mana saja, dan dimutasi kapan saja. Akibatnya, peta persebaran guru pun tidak merata. Ada daerah yang kekurangan guru mata pelajaran tertentu, sebaliknya bahkan ada yang kelebihan.

Jikalau guru yang bersertifikat saja tahun ini bisa menjerit ketakutan gara-gara tuntutan minimal 12 jam pelajaran, lalu bagaimana dengan guru yang belum dan berharap bisa mendapatkan sertifikat?

Kalau pemerintah tetap bersikukuh menerapkan tuntutan di atas guna melengkapi persyaratan sertifikasi maka guru sebagai garda paling depan dalam kesinambungan hidup kegiatan belajar mengajar di kelas jelas akan sangat dirugikan, mengingat ada ancaman sertifikasi yang telah dimilikinya melayang, serta guru yang belum bersertifikat besar kemungkinan akan kesulitan untuk mendapatkannya.

Pada tataran inilah kebijakan decision maker di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dimohon adanya. Menurut hemat penulis, guna menghindari munculnya jerit takut guru bersertifikasi tersebut ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah.

Pertama; pemerintah tetap memberikan toleransi bagi guru bersertifikat yang kekurangan jam mengajar, atau mengeluarkan aturan baru yang menempatkan kuantitas jam mengajar bukan sebagai persyaratan mendasar dalam sertifikasi pendidik.

Kedua; menambah rombongan belajar (rombel) bagi sekolah yang rombongannya terdiri atas 32 siswa lebih. Sebab, sesuai Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007, rombel ditentukan 32 siswa per kelas untuk SMP/sederajad dan SMA/sederajad. Kelebihannya bisa ditampung di kelas tersendiri sehingga guru bisa menambah jam mengajarnya.

Ketiga; Depdiknas bisa membuka keran bagi guru-guru SMP/sederajad dan SMA/sederajad untuk mengajar di SD/sederajad sesuai dengan mata pelajaran yang diperlukan, mengingat jam mengajar guru kelas SD/sederajad sudah lebih dari 24 jam. Bahkan kekurangan guru di lingkungan SD/sederajad acap kali menjadi alasan bagi sekolah untuk merekrut tenaga honorer, di mana kemudian menambah beban-tanggung jawab Depdiknas sendiri.

Apabila satu dari empat hal yang dikemukakan penulis di atas menjadi pertimbangan pemerintah dalam menelurkan kebijakan tata kelola sertifikasi pendidik di masa mendatang, jerit takut guru bersertifikasi adalah ketidakniscayaan.

[Source : kabar indonesia]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month