Share Info

12 July 2011

Berbahasa tanpa Rasa

13103861761131930494Pramugari menjelaskan alat-alat keselamatan, tanpa senyum, membuat voice-over di speaker makin tanpa rasa (foto : antarafoto.com)

Kita mungkin tak sadar bahwa berbahasa (bahasa tulis, bahasa lisan) menyangkut rasa. Rasa yang dimaksud di sini adalah feeling dan atmosfir yang membentuk dan terbentuk dari produksi tuturan (utterance), baik dari segi pembicara atau penulis dan dari segi pendengar atau pembaca.

Dari segi bahasa tulis, keindahan berbahasa diwakili oleh pilihan kata dan susunan kata. Dari segi lisan, keindahan berbahasa tercermin dari susunan kata, pilihan kata, plus intonasi, artikulasi dan pelafalan. Berbahasa dengan rasa adalah mengekpresikan tulisan atau tuturan sesuai keperluan dan tujuannya; yakni menyampaikan informasi yang akurat, tidak bias, mudah dimengerti dan tidak intimidatif.

Masalahnya, dewasa ini rasa dalam bahasa tak lagi terlalu diindahkan, dalam arti informasi disampaikan sekenanya, demi kemudahan penulis atau pembicaranya (komunikator), tanpa mempertimbangkan aspek mechanical reception dan esthetical reception di kalangan pembaca atau pendengarnya (komunikan). Mechanical reception terkait dengan akurasi dan kemudahan informasi, sedangkan esthetical reception terkait intonasi, kecepatan, pelafalan, artikulasi demi kenyamanan dengar.

Berada dalam kabin pesawat, praktek berbahasa tanpa rasa juga tampak mengedepan. Voice-over berisi pengumuman dan instruksi disampaikan dengan tergesa-gesa, dengan artikulasi tak jelas, dan kadang terinterupsi karena pembicaranya perlu berpikir sejenak apa yang perlu disampaikan (terutama bila sedang mengucapkan jam berapa saat itu. Ini kemudian diperburuk dengan language performance ketika menyampaikan terjemahannya dalam bahasa Inggris; lagi-lagi karena disampaikan dengan sangat tergesa, artikulasi yang tidak jelas, pelafalan yang buruk. Terlihat sekali bahwa informasi disampaikan hanya untuk mematuhi prosedur, tanpa semangat untuk memberi pengetahuan dan kejelasan kepada pendengarnya. Aspek mechanical reception dan esthetical reception dalam hal ini diabaikan begitu saja

Contoh lain, masih di kabin pesawat, bisa diperhatikan dari awak kabin yang harus memberi penjelasan kepada penumpang-penumpang yang duduk di deretan kursi pas pintu darurat. Informasi penting menganai bagaimana membuka pintu darurat (emergency exit) dalam keadaan darurat, disampaikan tergesa, datar, tanpa perasaan dan tanpa upaya mencari tahu apakah pendengarnya sudah memahami informasi yang ia sampaikan, ditambah pula dengan raut yang tak bersahabat.

Diam-diam kemudian saya membandingkan dengan perusahaan manca negara. Saya bandingkan maskapai penerbangan yang sama tapi dengan awak berbeda; yakni Airasia yang diawaki orang Indonesia (berprefix QZ) dan Airasia yang dikawal awak Malaysia (berprefix Ak) atau Thailand (berprefix FD). Awak Thailand dan Malaysia berbicara lebih pelan, artikulasi lebih baik, intonasi lebih baik dan pelafalan bahasa Inggris lebih akurat pula. Kelihatan mereka menempuh upaya lebih banyak untuk membuat penumpang memahami informasi dan bukannya sekadar menjalankan prosedur penyampaian informasi, seperti yang mereka tampakkan ketika berbicara di corong atau manakala menjelaskan prosedur keselamatan. Dalam pendengaran saya, mereka seolah bicara sambil tersenyum atau bermuka manis. Pramugari yang berdiri memeragakan penggunaan alat keselamatanpun menyungging senyum, meski sebagian besar penumpang tak merasa perlu menyimak peragaan ini. Oh ya, sekadar catatan, ada perusahaan penerbangan Filipina (Cebu Pacific) yang pramugarinya berdansa dengan iringan lagu Just Dance-nya Lady Gaga ketika memperagakan alat-alat keselamatan kepada penumpang (tribunnews.com)

1310379672304125884Pramugari Cebu Pacific, berdansa sambil memperagakan alat keselamatan. Menambah rasa pada bahasa instruksi di speaker, sekaligus menghibur

Memang waktu bicara mereka lebih panjang dan upaya olah bahasanya lebih banyak; tapi apalah artinya beda 2 atau 3 menit dan olah bahasa yang lebih menyenangkan kalau informasi penting itu bisa difahami dengan baik dan nyaman oleh pendengarnya.

Contoh berbahasa dengan rasa bisa Anda simak bila naik Lion Air dengan pesawat jenis Boeing 747-400 ER. Mereka menyediakan instruksi dan informasi rekaman (recorded) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang disampaikan dengan nada manis, intonasi dan artikulasi lembut, dan bahasa Inggris yang baik susunan dan pelafalannya. Tapi, giliran informasi spontan, meskipun saya yakin pembicaranya pakai teks standard, tetap saja bahasa tanpa rasa itu terdengar lagi; tergesa-gesa, belepotan dan berkesan tidak mengindahkan kenyamanan bagi pendengarnya. Belum lagi gangguan static peralatan audio yang kadang-kadang mengaburkan uraian kata-kata, yang berpotensi menganggu konten informasi yang disampaikan.

Berbahasa pakai rasa kemudian terpulang pada niatan maskapai penerbangan. Rutinitas dan kejenuhan mungkin telah membuat mereka lupa akan kewajiban memberikan kenyamanan infomasi kepada penumpang. Tetapi, dengan sedikit upaya, ketidaknyamanan ini bisa dihilangkan. Beri waktu lebih banyak untuk menyampaikan informasi. Susun ulang teks-teks standar dengan pilihan kata-kata yang lebih mudah dimengerti. Ajari ulang para pramugari seni-seni public speaking sederhana dan pentingnya penerimaan informasi secara nyaman bagi pendengarnya. Semuanya ini demi peningkatan mechanical reception dan esthetical reception dalam mengkomunikasikan informasi penting.

[Source : bahasa.kompasiana]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month