Share Info

27 May 2011

Suka Bergosip: Talenta Perempuan?

Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc), bersama Nastiti Tri Winasis (Chief Operations, MarkPlus Insight)

”Katakan dengan bunga” demikian bunyi pepatah klasik untuk menggambarkan bahwa ’bunga bisa mewakili kita untuk bicara, dibandingkan kita harus bicara tetapi tidak jelas maknanya’. Kebanyakan laki-laki mungkin lebih memilih memberikan bunga untuk kekasih atau pasangannya dibanding harus mengucapkan kata-kata simpatik secara langsung. Tidak ada bunga, kartu pun jadi, karena mereka bisa menulis apa yang ada di pikirannya melalui kartu tersebut. Mengapa laki-laki begitu sulit mengungkapkan isi hatinya? Mengapa laki-laki tidak pernah dicap ”tukang ngobrol”, apalagi ”tukang bergosip”?

“Gosip itu untuk perempuan dan laki-laki yang keperempuan-perempuanan,” demikian pendapat banyak orang. Mengapa perempuan identik dengan ”gosip”? Beberapa perempuan merasa ”gerah” dengan predikat tersebut. Padahal, sadar atau tidak, stereotip tersebut kadang-kadang mereka kukuhkan sendiri. Lihat saja komentar salah seorang perempuan (dan mungkin juga sering dilontarkan oleh perempuan lain), ”...Kalau laki-laki bergosip, kita suka bilang kayak ibu-ibu arisan. Kalau laki-laki cerewet mengomentari penampilan kita, secara spontan kita suka bilang, ’cerewet amat sih, kayak perempuan aja’...”.

Pada umumnya, perempuan merasa bahwa mereka harus mengetahui apa saja yang terjadi di sekitar mereka. Gosip adalah salah satu cara perempuan untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan, apalagi mereka senang dengan hal-hal detil. Itulah mengapa mereka sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya demi bergosip.
Mengobrol sambil bergosip memang diakui mengasyikkan bagi perempuan. Hasil riset MarkPlus Insight terhadap 1.301 perempuan di kota besar menunjukkan bahwa aktivitas yang biasa dilakukan sebanyak 95,4 persen perempuan bersama teman perempuannya adalah ”mengobrol”—bisa online maupun offline. Bila ditelusuri lebih jauh, perempuan menikah (96,4 persen), perempuan single (92,8 persen) dan perempuan single parent (95,0 persen) memilih mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk mengobrol dengan teman perempuannya dibanding aktivitas lain misalnya belanja, jalan-jalan atau perawatan diri.

Dalam Wikipedia disebutkan bahwa “gosip atau desas-desus (Inggris: rumors) adalah selenting berita yang tersebar luas dan sekaligus menjadi rahasia umum di publik tetapi kebenarannya diragukan atau merupakan berita negatif”. Benarkah gosip itu negatif?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari University of Michigan dipimpin Prof. Stephanie Brown menemukan bahwa kegiatan mengobrol (= bergosip) yang selalu diidentikkan dengan kaum perempuan ini ternyata bagus bagi kesehatan.

Perempuan akan merasa bahagia dan sehat jika mereka menikmati obrolannya dengan sesama teman perempuannya. Kegiatan tersebut terbukti dapat mengurangi tingkat stres dan rasa cemas berlebih. Mengobrol atau bergosip mampu meningkatkan hormon progesteron yang dihasilkan tubuh, di mana hormon tersebut berperan penting bagi perempuan dalam melakukan interaksi sosial. Hasil riset tersebut yang dipublikasikan dalam jurnal Hormones and Behaviour ini menunjukan bahwa responden yang terlibat percakapan dengan sesama perempuan cenderung mempunyai tingkat progesteron yang stabil, bahkan meningkat. Sementara pada kelompok lain yang tidak terlibat percakapan, hormon tersebut malahan terlihat menurun.

“Hasil ini dapat membantu kita dalam memahami mengapa orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan akrab akan terlihat begitu bahagia, sehat dan hidup lebih lama dibandingkan dengan mereka yang kehidupan sosialnya terisolasi,” ungkap Prof. Stephanie.

Dalam ”Psychology Today”, Hara Estroff Marano menulis artikel berjudul “Secrets of Married Men”. Dia mengutip pendapat psikiater Scott Haltzman, M.D., yang mengatakan bahwa rata-rata perempuan berbicara 7.000 kata setiap harinya, sementara laki-laki hanya 2.000 kata. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Allan dan Barbara Pease di buku mereka “Why Men Don’t Listen & Women Can’t Read Maps” yang memberikan data yang mirip kisarannya.

Bisa jadi, itulah alasan mengapa persahabatan antara perempuan seringkali diwarnai dengan sesi bergosip dan curhat. Bahkan, Alan dan Barbara Pease dalam bukunya yang berjudul “Why Men Can Do One Thing at a Time and Woman Never Stop Talking” mengatakan, “The average length of woman’s telephone call is at least 18 minutes; whilst the average length of a man’s telephone is a less than 3 minutes”.

Perempuan memiliki satu kesamaan yang akan selalu menjadi benang merah dari setiap persahabatan dengan sesama perempuan, yaitu ‘kebutuhan untuk berbagi’. Perempuan akan berbagi informasi seputar kehidupan mereka, mulai dari hal-hal detil yang berkaitan dengan urusan sehari-hari misalnya kecantikan, fashion, hingga masalah laki-laki dan passion mereka terhadap kehidupan. Apa pun bisa menjadi gosip. Bahkan, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bergosip dan atau nonton TV acara gosip yang sedang hot dari satu stasiun TV ke stasiun TV lain. Cerita kecil dan sederhana bisa mereka gosipkan melebar ke mana-mana. Mereka juga rela meluangkan waktu untuk bertemu rekan mereka di kafe atau menghabiskan pulsa telepon hanya untuk sekedar ngobrol walaupun obrolannya belum tentu ”berisi”. Bahkan, ada komentar dari seorang laki-laki menanggapi kebiasaan perempuan bergosip, ”Laki-laki sering terganggu karena perempuan sering tak berhenti bicara, apalagi kalau bahan pembicaraannya banyak yang nggak penting”.

Majalah Marketeers (edisi Agustus 2010) menyatakan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk menyebarkan suatu isu dibanding laki-laki. Jadi, sifat suka bergosip menjadi suatu keuntungan saat para perempuan berbagi cerita tentang produk-produk yang digunakannya. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang lebih suka menyimpan informasi tersebut untuk dirinya sendiri, karena laki-laki dianggap jauh kurang percaya diri untuk bercerita kepada teman-temannya dibandingkan perempuan. Laki-laki ”diprogram” untuk tidak mengungkapkan apa pun yang bisa membuat mereka rentan.

Pendapat Phillip Hodson, psikoterapis dan konselor dari British Association menguatkan fenomena tersebut. Menurutnya, "Laki-laki cenderung tidak mengatakan hal-hal tentang diri mereka, sedang perempuan suka ’mendongeng’ serta cenderung memiliki kepercayaan diri lebih, khususnya pada teman-teman mereka. Laki-laki cenderung tidak memiliki kemampuan dalam cara yang sama dan berbagi hal-hal yang dapat membuat mereka rentan. Mereka takut bahwa jenis informasi (yang ia ceritakan) dapat digunakan untuk melawan mereka. Laki-laki juga takut dimanfaatkan untuk persaingan.”

Kemungkinan laki-laki lebih merasa nyaman untuk curhat melalui situs pribadi yang bisa menjamin kerahasiaan identitas mereka dibanding berbicara kepada temannya. Lalu, apa yang bisa kita petik dari kasus di atas? Pemasar yang jeli bisa memanfaatkan talenta perempuan ini sebagai ajang untuk sosialisasi produk mereka. Why not?

[Source : health.kompas.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month