Share Info

21 May 2011

Cermin dan Demokrasi

Berkaca didepan cermin memandang diri sendiri, benarkah itu aku? Lha, kalau bukan aku, siapa lagi?
Tapi kenapa tangan kananku berada di sebelah kiri, tangan kiri di sebelah kanan?
Kita niscaya melihat, mengambil keputusan, bahkan menghakim berdasarkan kenyataan yang terbukti; dimana benar salah, baik buruk diterapkan. Tapi apakah yang kita pandang sebagai kenyataan itu sesungguhnya adalah kenyataan, bukannya semata mata sebuah persepsi? Pernahkah ada kenyataan tanpa persepsi? Adakah persepsi yang tidak berpangkal pada kepentingan dan pengalaman individu maupunmkumpulan masing masing? Namun kita juga sadar bahwa persepsi itu berlainan pangkal, bahkan tidak jarang pula transient pembawaannya.

Budaya Tionghoa yang berdasarkan budaya ajaran Kong Hu Chu, sangat mengambil berat kepentingan keluarga. Antara lain anak anak perlu menghormat kepada orangtua, dan leluhur. Kalau ada yang berbuat salah, keluar dari norma kebiasaan, ucapan yang selalu didengar adalah, “Kenapa kamu berbuat begitu?
Perbuatanmu itu membawa malu kepada orangtua.” Kalau perbuatannya lebih parah lagi, “Anak durhaka, bikin malu orangtua, bikin malu leluhur.” Tentunya budaya mencerminkan kepentingan kehidupan survival masyarakat di mana ia tumbuh. Jadi bagaimana pun ada nilainya yang tertentu. Hanya dengan berjalannya waktu, dan berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu tidak ada yang tidak berubah di dunia ini melainkan perubahan itu sendiri, banyak budaya yang tadinya diagung-agungkan telah berubah dan diganti dengan yang baru. Apakah yang baru itu selalu lebih baik dari yang lama, itu merupakan masalah lain, tidak masuk dalam lingkaran topic pembicaraan kita di artikel singkat ini.

Bertahun tahun melalui mass media Barat, masyarakat diberi tahu bahwa hidup dalam sistim demokrasi adalah yang terbaik, di situ terdapat kebebasan yang luar biasa, kebebasan berpikir, berkarya, termasuk kebebasan bercelana jeans dan mendengar heavy metal rock music, juga kebebasan menghisap ganja asalkan dilokasi yang ditentukan seperti di sebagian tempat di Eropah, misalnya. Tapi jangan sekali kali di Singapura, berat hukumannya.

Sering kita lihat baik di media cetak maupun di TV banyak orang berjejalan berdemonstrasi di jalan raya berteriak mengacungkan plakat dengan coretan besar DEMOKRASI Kami Mau DEMOKRASI dan semboyan yang bersamaan nada. Berapa banyak diantara mereka yang sungguh mengerti makna demokrasi dalam kehidupan bangsa? Terlebih pula demonstrasi yang sering terjadi di jalan raya di bundaran Hotel Indonesia Jakarta? Dengan sebungkus nasi campur dan sehelai T shirt orang sudah dengan suka rela berdemonstrasi menuntut Demokrasi. Lalu dengan cepat kabar dan foto barisan yang menuntut Demokrasi disebar luaskan di mass media di mana-mana, memberi kesan bahwa rakyat menuntut adanya demokrasi. Sebuah contoh persepsi berkaca di depan cermin.


Persepsi kita terhadap segala sesuatu dalam kehidupan sehari hari banyak terpengaruh oleh lingkungan, dimana pengaruh mass media termasuk yang terkuat. Demi mencari keseimbangan persepsi perlu adanya alternative information untuk menandingi mainstream information yang hanya menayangkan pandangan dari satu sisi. Mungkin disinilah letaknya fungsi milis independent, memberi kesempatan melihat kenyataan dari berbagai persepsi, dan dari situ dapat mengambil keputusan yang lebih memadai.

[Source : indonesiamedia.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month